Tante Lendir - Catatan pribadi suamiku masih panjang. Tapi aku berhenti sampai di sini dulu, karena ada kisahku yang belum kucatat di dalam diaryku. Biarlah kucatat di sini saja, sekalian membuat pengakuan sejujurnya kepada suamiku.
Aku bahkan mau menulisnya dari awal sekali……
Kata orang-orang, cinta pertama sangat jarang yang berlanjut ke jenjang perkawinan. Aku percaya kata orang-orang itu, karena aku telah membuktikannya sendiri. Bahwa cinta pertamaku dengan Aria, kandas begitu saja, karena akhirnya aku menikah dengan Yadi Suryadi.
Meski aku berasal dari Batam, tapi sejak kecil aku tinggal di rumah pamanku (namanya tak usah kusebut) di Jakarta. Otakku mungkin tergolong cerdas, sehingga di usia 22 tahun aku sudah mendapatkan gelar sarjana ekonomi. Namun di usia 22 tahun ini pula datanglah lamaran dari Bang Yadi.
Dan pamanku langsung menyetujui pinangan itu, tanpa merundingkannya denganku. Alasannya klasik. Bahwa daripada menunggu-nunggu Aria yang belum jelas kapan siapnya mengawiniku, mending menerima pinangan Bang Yadi. Supaya aku jangan menjadi perawan tua, katanya.
Orangtuaku di Batam menyerahkan sepenuhnya kepada pamanku. Mereka yakin bahwa pamanku tahu mana jalan yang terbaik bagiku.
Lalu aku dinikahkan dengan Bang Yadi di Jakarta, lewat suatu pesta perkawinan yang lumayan mewah buat ukuranku saat itu.
Kemudian aku diboyong ke luar Jakarta, ke rumah yang lumayan besar dengan luas tanah yang luas. Menurut keterangan suamiku, rumah itu hasil dari “ledakan” salah satu bisnisnya. Letaknya cukup strategis, karena angkot pun lewat di depan rumah itu. Dan sejak menempati rumah itu, aku punya pikiran untuk memanfaatkannya sebagai tempat usaha. Karena aku tak mau hanya menengadahkan tangan kepada suamiku.
Suamiku sudah S2, bahkan gelar masternya (master, bukan magister) didapat dari Kanada. Tapi dia tidak punya pekerjaan tetap. Dia lebih suka berbisnis, cari keuntungan sebagai mediator atau arranger dan berbagai istilah keren lainnya. Padahal kalau diterjemahkan secara jujur, dia itu seorang broker atau lebih jelasnya lagi…sebagai calo…!
Aku pernah membahas masalah itu dengan suamiku. Bahwa ia sudah punya gelar master, tapi tidak memanfaatkan masternya itu untuk bekerja di suatu instansi pemerintah ataupun di perusahaan swasta. Tapi Bang Yadi menyahut dengan senyum, “Aku terlalu yakin bahwa aku ini dilahirkan untuk menjadi seorang leader, bukan untuk menjadi pegawai yang harus patuh pada perintah atasan. Tenang aja, Sayang. Sekarang jaringan bisnisku sudah semakin lebar. Doakan saja semoga pada suatu saat, bisnisku meledak di sana-sini.”
Aku tidak membantahnya. Karena memang kalau dipikir suamiku sudah terbilang sukses juga. Sudah memiliki rumah besar dengan tanah seluas ini, sudah memiliki mobil dan sebagainya. Kalau bekerja, mungkin rumah pun baru punya yang kreditan.
Untuk semuanya itu aku harus bersyukur. Namun aku ingin suamiku seperti beberapa orang tetanggaku. Mereka tiap pagi berangkat kerja, sorenya baru pulang. Kelihatannya keseharian mereka tertib. Tidak seperti suamiku, yang terkadang jam sebelas baru bangun. Lalu berangkat ke tempat teman-teman bisnisnya berkumpul, di rumah salah satu sahabatnya yang bernama Edo itu.
Terkadang suamiku harus mengurus bisnisnya di kota lain. Dan tak jarang ia harus menginap berhari-hari. Dan pulangnya, seperti orang habis berjudi. Terkadang wajahnya ceria, kalau bisnisnya berhasil. Terkadang juga sikapnya lesu, karena bisnisnya gagal.
Dengan kata lain, meski kelompok bisnis suamiku cukup meyakinkan, namun aku merasa tiada kepastian. Dalam langkah-langkah bisnis suamiku, bisa sukses bisa juga gagal.
Sedangkan aku, segala sesuatu harus ada kepastian, terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan hidup. Itulah sebabnya aku berniat membuka usaha di rumah ini, karena yang penting ada duit mengalir tiap hari, meski jumlahnya tidak banyak. CASINO QIUQIU
“Lho…kamu kan lagi hamil ?! Malah pengen buka toko segala ? Kalau kamu udah hamil tua, siapa yang ngurus tokonya nanti ?” tanya suamiku setelah aku mengutarakan niatku.
“Gampang lah Bang. Kan bisa gaji pelayan. Aku juga gak bermaksud segalanya dikerjain sendiri,” sahutku.
Akhirnya suamiku menyetujui rencanaku. Bahkan sebagai dukungan, garasi dipindahkan ke belakang (membangun garasi baru), sementara garasi lama disatukan dengan ruang tamu, yang lalu disiapkan untuk toko yang kuinginkan.
Begitulah, pada waktu kehamilanku sudah berusia enam bulan, toko itu mulai dibuka. Tak sulit mencari pelayan yang bisa kuandalkan, terutama karena kehamilanku sudah agak tua. Kudapatkan seorang wanita muda bernama Mimin, yang ternyata sangat jujur, cerdas, rajin dan bisa dipercaya, karena ia pernah bekerja di toko juga.
Terkadang untuk belanja ke grosir pun bisa menyuruh Mimin. Sehingga kalau aku melahirkan nanti, semuanya bisa dipercayakan padanya. Tentu saja aku pun tak sayang-sayang memberi gaji yang lebih tinggi daripada semestinya.
Karena itu aku merasa makin lama makin mencintainya. Terlebih lagi setelah aku mengandung janin hasil cinta kami berdua.
Lalu, lewat operasi cezar lahirlah anak kami, bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Cindy Icha Marissa, tapi lalu kami menyebutnya Icha saja.
Sementara itu tokoku dalam tempo singkat berkembang pesat sekali, sehingga bisa dibilang toko terlengkap di daerah rumahku. Meski sudah punya Mimin, aku pun jadi sibuk sekali dibuatnya. Minimal aku harus pergi ke grosir untuk membeli barang-barang yang stocknya sudah hampir habis atau habis sama sekali.
Terkadang aku harus bekerja sambil membawa-bawa Icha yang usianya baru 3 bulan, karena Bang Yadi tidak mau mengambil babysitter. Maklum zaman sekarang, babysitter yang jahat juga ada. Ada yang selalu membius bayi supaya tidur terus, ada yang ngasih obat mencret banyak-banyak supaya jangan boker dan tak usah nyebokin, bahkan ada juga yang menculik bayi asuhannya lalu menjual bayi itu ke sindikat penjualan bayi.
Apakah Bang Yadi laporan ke Papie dan Mamie (Papie adalah ayah kandung Bang Yadi, sementara Mamie adalah ibu tiri Bang Yadi yang tidak punya anak kandung), atau sudah ada getaran batin kepada mereka untuk memecahkan masalah Icha itu, entahlah. Yang jelas, pada suatu hari Papie dan Mamie datang sambil mengutarakan maksud mereka, untuk merawat Icha sampai waktunya bersekolah kelak.
Lewat perundingan keluarga yang cukup alot, akhirnya aku menyetujui keinginan kedua mertuaku itu, untuk menyerahkan Icha ke dalam pangkuan mereka. Untungnya Icha sejak lahir tidak pernah menyusu padaku, karena setelah mengalami operasi cezar aku belum boleh menyusui. Dan setelah bekas operasiku sembuh, asiku tidak mau keluar lagi, maka Icha pun harus dibiasakan diberi susu formula saja.
Setelah Icha diambil oleh mertuaku, dengan sendirinya aku tak mau terlalu merepotkan orang tua suamiku. Kebutuhan Icha selalu kukirim ke rumah mereka. Bukan cuma susu, tapi juga uang untuk biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan Icha selalu kukirim.
Kebetulan di dekat rumah mertuaku ada tempat praktek dokter spesialis anak. Jadi untuk vaksinasi dan berobat, mertuaku tak usah jauh-jauh membawa Icha, karena tempat praktek dokter itu hanya terhalang tiga rumah dari rumah mertuaku.
Seiring dengan perkembangan pesat tokoku, perjalanan bisnis suamiku juga makin lama makin cerah rasanya. Sering ia pulang dengan membawa uang yang cukup banyak, sebagai hasil dari bisnisnya. Sehingga aku merasa sejak menikah dengan Bang Yadi, tak pernah kualami kesulitan dalam soal keuangan.
Namun aku tak puas dengan memiliki toko yang isinya sudah semakin lengkap itu. Pekarangan belakang yang masih cukup luas itu pun kumanfaatkan dengan memelihara ribuan ekor burung puyuh petelur. Dan tiap hari aku bisa memetik hasilnya. Ribuan butir telur burung puyuh kudapatkan dari hobby sekaligus usahaku itu.
Untuk menjualnya tak sulit. Cukup dengan menyimpannya di tokoku. Dan selalu saja habis terjual. Bahkan ada beberapa rumah makan yang sudah jadi langgananku, selalu mengambil telur burung puyuh dari tokoku. Mereka senang membeli dari tokoku, karena mereka tahu bahwa telur-telur yang kujual adalah telur baru, bukan telur yang sudah hampir busuk seperti banyak mereka dapatkan kalau beli di pasar. Maklum aku sendiri peternaknya, sehingga aku tak pernah menjual telur yang sudah lama.
Sementara itu suamiku sudah mendapatkan seorang sopir yang masih sangat muda, Herman namanya. Setelah punya sopir, suamiku jarang sekali nyetir sendiri, kecuali kalau sedang ingin tour bersamaku, berdua saja.
Bang Yadi memang seorang suami yang romantis. Di tengah kesibukan berbisnisnya, ia selalu menyempatkan diri berlama-lama mencumbuku di dalam kamar atau di daerah wisata yang belum pernah kukunjungi. Sehingga aku makin lama makin mencintainya dengan sepenuh hatiku.
Dalam soal sex, mungkin suamiku itu tergolong sosok yang kreatif, bahkan super kreatif. Ia bisa menyetubuhiku di mana saja, asalkan ia merasa aman. Ia juga senang membeli dvd bokep, yang di zaman sekarang sudah merupakan barang murah dan mudah didapat.
Sambil memutar bokep baru di dalam kamar kami, Bang Yadi selalu saja ingin mempraktrekkan tayangan dvd bokep itu. Hanya satu hal yang ia paling anti, yakni anal sex. Aku sendiri juga tak suka melihat adegan anal sex. Sehingga kalau sudah ada sodominya, aku suka minta agar plat dvdnya diganti dengan yang lain.
Apakah aku suka dengan semuanya itu ? Ya, aku tak mau munafik. Bahwa kegemaran suamiku memutar dvd bokep sambil menyetubuhiku, sudah menjadi kegemaranku juga. Namun saat itu aku masih sebatas melayani gairah suamiku belaka, dengan pedoman yang tetap kupegang, bahwa seorang istri diwajibkan untuk selalu siap meladeni hasrat birahi suaminya.
Kalau suamiku pulang dalam keadaan letih, lalu tidur nyenyak di atas bed, terkadang di sofa ruang kerjanya, aku pun tak mau mengganggunya.
Makin lama kegiatan bisnis suamiku makin padat dan sering berangkat ke luar kota. Teman-teman bisnisnya banyak juga yang suka datang, seperti Edo, Kardi, Pak Dino dan banyak lagi. Ada juga seorang wanita berjilbab yang bernama Ivy, sering bertamu ke rumahku, untuk membahas bisnisnya bersama suamiku. Terkadang wanita itu berangkat ke luar kota bersama suamiku dan sopir kami (Herman).
Aku pun jadi akrab dengan teman-teman bisnis suamiku itu. Terutama dengan Edo, yang usianya sebaya dengan suamiku itu. Bahkan Edo suka membawa istrinya juga, agar semakin akrab dengan kami. Raisha, demikian nama istri Edo itu, adalah seorang wanita yang manis dan menyenangkan. Ia berasal dari Sulawesi, namun keramahannya melebihi tetangga-tetanggaku yang asli Sunda. Karena itu aku merasa senang kalau Edo datang bersama istrinya, yang membuatku punya teman ngobrol mengasyikkan. AGEN CASINO
Suamiku punya seorang kakak kandung bernama Suryana (biasa dipanggil Bang Yana). Hidupnya sudah sangat mapan, karena bisnisnya sukses di sana-sini. Jujur, aku ingin sekali hidup seperti kakak iparku itu, punya rumah mentereng tak ubahnya istana, punya mobil mewah yang harganya milyaran, punya perhiasan yang senantiasa gemerlapan dan harta melimpah ruah.
Bang Yana punya multi bisnis yang ditekuninya di beberapa propinsi. Aku kagum dengan kesuksesannya. Namun pada suatu saat suamiku membuka “rahasia sukses” abangnya itu. Ternyata Bang Yana hanya menjalankan harta istrinya yang biasa kupanggil Mbak Lies itu.
Menurut cerita suamiku, Mbak Lies itu anak tunggal seorang mantan pejabat tinggi, yang hartanya berlimpah ruah. Jadi bisnis-bisnis Bang Yana dimodali oleh istrinya.
O, pantesan, pikirku setelah suamiku menuturkan rahasia kesuksesan abangnya itu.
“Tenang aja,” kata suamiku di ujung penuturannya, “Aku yakin, pada suatu saat kita pun akan bisa seperti mereka. Bahkan mungkin saja kita lebih sukses daripada mereka.”
“Amien,” sahutku sambil tersenyum dengan harapan semoga cita-cita suamiku terkabul.
Hari demi hari berjalan terus tanpa ada masalah yang berarti.
Pada suatu sore, suamiku pulang dengan senyum ceria di bibirnya. Pasti ada sesuatu yang menggembirakan, pikirku. Ternyata memang benar. Ia membuka tas kerjanya di depan mataku.
“Wow !” aku terbelalak, karena tas kerja suamiku penuh dengan uang. “Uang apa ini Bang ?”
“Uang kita lah,” sahut suamiku sambil memelukku dari belakang.
“Hasil dari bisnis yang mana Bang ?”
“Fee dari penjualan tanah untuk perumahan itu.”
“Kok banyak sekali Bang ?”
“Mediatornya hanya aku sendiri. Makanya besar bagiannya.”
“Fee Abang dibayar secara fisik gini. Kenapa gak pake cek aja Bang ?”
“Aku yang menolak dibayar dengan cek. Takut dikasih cek kosong. Hahahaa…”
“Wah…ini sih cukup untuk membangun rumah baru di tanah kosong yang di belakang itu Bang.”
“Terserah kamu, sayang,” kata suamiku diikuti dengan kecupan mesra di pipiku, “Aku mau mandi dulu ya.”
“Iya Bang. Eh…ini amplop apa ?”
“Plat dvd. Bagus-bagus lho. Puter gih. Tapi itu dapet pinjam. Jangan sampai ketuker sama dvd kita. Aku mau mandi dulu,” kata suamiku sambil melangkah menuju pintu kamar mandi.
Aku pun memindahkan uang dari tas kerja suamiku ke dalam brankas. Tentu saja dengan perasaan senang, karena suamiku mulai mendapatkan hasil bisnis yang cukup meyakinkan.
Tiba-tiba aku teringat amplop berisi plat-plat dvd itu, yang kata suamiku bagus-bagus isinya. Dengan penasaran kuputar salah satu plat dvd itu di playernya. Dan aku duduk di sofa kamarku sambil menonton adegan-adegan di layar monitor dvdku.
Ternyata dvd itu berkisah tentang dua pasang suami istri yang pada intinya mereka bertukar pasangan. Plat dvd itu kureject. Lalu kuganti dengan plat dvd lain. Eee, isinya sama juga. Berkisah tentang tukar pasangan suami istri. Maka kubiarkan saja dvd itu berputar dan menayangkan adegan swinger.
Dan aku pun berusaha menikmatinya. Menontonnya dengan pikiran yang tergoda juga. Namun hanya sebatas mengkhayal sambil merinding-rinding. Karena aku tak dapat membayangkan seperti apa perasaan mereka pada saat bertukar pasangan seperti itu.
Memang aku pernah membaca artikel tentang swinger di internet. Namun saat itu aku berpikir bahwa bertukar pasangan seperti itu hanya terjadi di dunia barat sana. Di negara yang sudah menganut faham sex bebas. Dan aku tak pernah membayangkan untuk melakukannya.
“Bagus kan filmnya ?” terdengar suara suamiku yang sedang mengenakan piyama di dekat lemari pakaian.
"Iya, tapi tukeran istri semua ya Bang?" cetusku sambil memperhatikan tayangan bokep itu dengan seksama.
"Iya...asyik juga ya? Mereka melakukan semacam refreshing gitu..."
"Orang barat sih bisa semaunya. Tapi bangsa kita sih gak gitu Bang."
"Ah...kamu gak tau aja...bangsa kita juga banyak yang melakukannya. Malah sekarang sudah ada club-club swinger di kota-kota besar."
"Masa sih?"
"Betul. Makanya buka-buka internet dong. Supaya tau perkembangan."
"Ah...waktuku gak ada Bang. Dari pagi sampai malam waktuku dihabisin sama urusan toko."
Suamiku tidak membantahnya. Sementara aku makin serius menonton film yang tengah diputar itu.
"Kayaknya sih asyik juga tukar pasangan gitu ya," kata suamiku sambil menyelusupkan tanganku ke balik dasterku, lalu menyelinap ke balik celana dalamku.
"Emang Abang rela kalau aku digituin sama lelaki lain?" tanyaku dengan pandangan tetap tertuju ke layar monitor DVD playerku.
"Rela lah...malah bisa jadi perangsang hebat buatku," sahut suamiku sambil memelukku dan langsung menggerayangi kemaluanku, bahkan langsung menyelipkan jemarinya ke liang kemaluanku yang mulai membasah,
"Lagian kalau tukar pasangan gitu kan adil. Tidak ada yang dirugikan."
"Iiih...Abang mengkhayal...." cetusku sambil membiarkan suamiku melepaskan celana dalamku dan memberi keleluasaan padanya untuk menjelajahi kemaluanku.
Kemudian kubiarkan ia menelanjangiku. Dan menyetubuhiku di atas sofa, sementara dvd playerku tetap menayangkan adegan dua pasang suami istri yang sedang bertukar pasangan itu.
Ya, suamiku menyetubuhiku, sebagaimana lazimnya suami menunaikan kewajibannya untuk menggauli istrinya. Dan sebagai seorang istri, aku pun merasa berkewajiban untuk meladeni suamiku. Kejadian seperti ini dilakukan jutaan bahkan milyaran pasangan suami-istri di dunia ini tiap hari. So, tidak ada yang aneh.
Yang aneh adalah, kali ini lebih dari sejam suamiku menyetubuhiku. Sampai keringatnya bercucuran. Aku pun mengalami orgasme lebih dari satu kali.
"Tumben...lain dari biasanya," kataku setelah semuanya selesai.
"Tau gak? Tadi aku bayangkan kamu sedang disetubuhi oleh lelaki lain. Aneh tapi nyata. Ketika kubayangkan hal itu, gairahku mendadak muncul...."
"Hihihi...Bang Yadi ada-ada aja," kataku sambil memijit hidung suamiku.
Ia mencium bibirku dengan mesra. Lalu payudaraku dielusnya, seolah baru mau pemanasan menjelang bersetubuh. Padahal ia sudah ejakulasi di dalam liang kemaluanku.
"Sayang," kata suamiku, "Sebenarnya ada orang yang mengajak tukar istri dengan kita.”
Aku terlongong. Lalu bangkit dan duduk sambil berkata, “Abang becanda kan ?”
“Gak. Aku serius. Malah sudah lama kami merencanakannya. Tapi baru sekarang aku menyampaikannya padamu, Sayang.”
“Gila. Kok Abang dan orang itu bisa punya pikiran seperti itu?”
“Begini,” kata suamiku lembut, “Sebenarnya hampir semua suami pernah membayangkan istrinya digauli oleh lelaki lain. Tentu saja khayalan itu akan membuat mereka cemburu. Tapi di balik perasaan cemburu itu akan datang rangsangan hebat…seperti yang kualami barusan. Kamu juga merasakan kalau aku lain dari biasanya kan ?”
“Iya,” aku menganggu, “Emangnya kenapa jadi lain begitu ?”
“Karena aku membayangkan kamu sedang digauli oleh lelaki yang sudah janjian untuk swinger dengan kita itu, Sayang. Baru membayangkannya saja sudah begitu hebat pengaruhnya, apalagi kalau sudah dilaksanakan.”
Aku tercenung sejenak. Lalu tanyaku, “Emangnya Abang udah janjian sama siapa ?”
“Sama sahabatku sendiri, yang kamu juga udah kenal.”
“Siapa ? Pak Dino ?”
“Hush…Pak Dino sih udah tua. Gak seimbang dong dengan umur kita.”
“Terus siapa ?” tanyaku penasaran juga jadinya.
“Edo,” sahut suamiku sambil mencolek-colek bibirku.
“Edo ?!” aku terkesiap dan hampir tak percaya pada pendengaranku sendiri. Sementara terawanganku melayang-layang tak menentu. Betapa tidak. Edo dan istrinya sudah akrab denganku, tapi aku tak pernah membayangkan kalau suamiku sudah janjian dengan sahabatnya itu untuk melaksanakan sesuatu yang gila-gilaan (menurutku).
“Iya…” kata suamiku sambil membelai rambutku, “Kalau swinger dengan yang biasa-biasa aja sih aku gak mau. Harus yang ganteng lelakinya, supaya aku merasa cemburu. Makanya kebetulan Edo yang bakal jadi teman swinger kita. Edo kan ganteng…pasti kamu takkan nyesel deh.”
Aku tertunduk. Dan berkata lirih, “Emangnya Abang udah gak cinta lagi padaku, sampai hati mau membiarkan aku disentuh oleh lelaki lain.”
"Aku sangat-sangat-sangat cinta padamu, sayang. Kita hanya akan melakukan refreshing. Gak ada hubungannya dengan cinta."
Aku tetap menundukkan kepala. Tak berani menanggapi ucapan suamiku sepatah pun.
"Kalau kamu sudah setuju, kita sewa aja villa yang kecil...yang punya kamar dua juga cukup. Jadi kita gak berjauhan. Malah kalau keadaan memungkinkan, kita lakukan di satu ruangan juga bisa," kata suamiku lagi.
"Iiiih...” aku bergidik sambil memegang kedua belah pipiku, “Gak kebayang Bang. Dengernya juga serem. Emangnya Abang serius?"
Suamiku memelukku dengan mesra, mencium pipiku dan berkata lembut, “Aku sangat serius, Sayang. Jangan anggap ini sebagai suatu kegilaan. Ini justru akan membuat perkawinan kita semakin bergairah.Percayalah."
Kutatap wajah suamiku dengan perasaan bingung. Sangat bingung. Lalu memberanikan diri bertanya, “Jadi…nanti ngapain aja sih ?”
"Setelah mendapatkan villa yang punya kamar dua, ya kita ngobrol dulu lah. Lalu kamu masuk ke salah satu kamar bersama Edo.”
"Dan Abang masuk ke kamar satunya lagi dengan Raisha, gitu?"
"Ya, begitulah kira-kira. Kita pisah kamar, supaya jangan pada canggung. Setelah kita sudah kuat mental sih, kita lakukan di satu ruangan juga bisa aja."
Tiba-tiba hp suamiku berdering. “Ini dari Edo,” kata suamiku tampak senang, “Aku keluarin suaranya supaya bisa ikut denger ya.”
Lalu terdengar suara di handphone suamiku: “Bang…Raisha sudah setuju. Mbak Erni gimana ?”
"Kelihatannya 90% sudah oke. Agak sabaran dikit ya," sahut suamiku di dekat hapenya.
"Oke Bang. Soal villa, biar nanti saya yang nyari sampai dapat.”
"Oke,oke....Besok saya ke rumah Edo deh."
Setelah menutup pembicaraannya dengan Edo, suamiku menatapku dengan senyum yang menggoda. “Udah jelas kan kalau aku gak becanda ? Kamu dengar sendiri bahwa Raisha juga udah setuju kan ?”
Aku terdiam. Rasanya aku sudah berada di sudut yang tak mungkin bisa kuhindari lagi. Sementara sikap suamiku tampak begitu bersemangat. Tegakah aku memadamkan semangatnya itu ?
Ah…aku sudah terlalu mencintai Bang Yadi. Apa pun yang diinginkannya, selalu kukabulkan. Tapi kenapa sekarang harus ada ajakan yang begitu aneh bagiku ?
"Bang...nanti setelah masuk ke kamar masing-masing, harus ngapain aja?" tanyaku sesaat kemudian.
"Ya saling cumbu aja....lalu...selanjutnya apa pun yang bisa terjadi, lakukan aja. Asal kamu jangan merasa terpaksa," jawab suamiku sambil memegang kedua bahuku.
"Tapi, namanya juga berada di dalam kamar berduaan gitu, lalu…kalau Edo pengen ML gimana?"
"Hehehe...emang tujuannya ke situ. Tapi hadapi aja dengan santai. Kan aku juga gak jauh, cuma beda kamar doang."
Aku semakin menyadari bahwa kalau aku sudah menyatakan setuju, rencana itu akan dilaksanakan. Lalu…aaah…terbayang apa yang akan terjadi nanti. Bahwa suamiku akan sekamar dengan Raisha, sementara aku akan sekamar dengan Edo….dengan segala kemungkinan yang akan terjadi…!
“Seandainya aku mengikuti keinginan Abang, apakah rumah tangga kita takkan retak ?” tanyaku dengan suara agak tersendat.
“Aku jamin rumah tangga kita akan tetap utuh. Coba ingat-ingat, kapan aku pernah ingkar janji ?”
“Iya sih…Abang gak pernah ingkar janji. Tapi soal yang satu ini lain dari yang lain Bang.”
“Begini aja. Kita bikin surat perjanjian di atas kertas bermeterai. Kalau perlu Edo dan Raisha kita jadikan saksinya.”
“Isi surat perjanjiannya gimana Bang ?”
“Intinya janji dariku, bahwa semua yang terjadi di antara kita dengan Edo dan Raisha adalah kehendakku. Dan aku berjanji takkan pernah menceraikanmu. Bahkan sebaliknya, aku akan semakin mencintaimu sebagai istri yang senantiasa mengikuti apa pun yang kuinginkan.”
Aku cuma termangu.
“Jadi kamu setuju kan ?” tanya suamiku setengah berbisik di dekat telingaku.
“Terserah Abang aja. Tapi kalau ada eksesnya di kemudian hari, jangan salahkan aku.”
“Tidak akan ada ekses negatif sekecil apa pun. Buktikan aja nanti, apakah omonganku benar atau tidak.”
“Edo udah punya istri cantik gitu kok masih pengen yang aneh-aneh.”
“Hush…Raisha itu memang manis. Tapi kalau dibandingkan denganmu, dia kalah. Baik dalam soal kulit maupun kecantikan wajah. Kulitmu lebih putih, tubuhmu lebih padat dan seksi, wajahmu lebih cantik.”
“Tapi aku masih takut ada akibat yang kurang baik di kemudian hari Bang….”
“Takut apa ? Kamu kan sudah pasang alat kabe. Selama alat itu masih terpasang, meskipun disetubuhi sepuluh kali sehari juga takkan hamil, Sayang.”
Aku terdiam lagi.
“Pokoknya siap-siap aja ya. Besok aku mau ke rumah Edo, sekalian merundingkan rencana ini sematang mungkin.”
Aku masih terdiam juga. Tapi terawanganku tidak diam. Membayangkan segala yang mungkin terjadi pada saat rencana itu dilaksanakan kelak. Edo memang ganteng, usianya pun beberapa bulan lebih muda daripada suamiku (menurut cerita dari suamiku). CASINO ONLINE
Sikapnya pun ramah, sopan dan menyenangkan. Tapi aku tak pernah menduga sebelumnya, bahwa suamiku sudah punya rencana sejauh itu dengan Edo.
Esok malamnya (aku masih ingat benar saat itu malam Sabtu) suamiku berkata bahwa semua rencana swinger sudah dimatangkan bersama Edo.
Aku sudah mulai berusaha memahami tujuan suamiku. Tapi tak urung aku bertanya juga, "Abang yakin nantinya perkawinan kita tetap utuh?"
"Sangat yakin," sahut suamiku sambil mengelus rambutku, "Bahkan aku akan semakin sayang padamu...percayalah."
Kurebahkan kepalaku di atas dada suamiku, lalu berkata perlahan, “Bang...aku hanya akan berusaha mengikuti keinginan Abang. Tapi aku minta...jangan sampai ada akibat buruk di kemudian hari ya."
"Iya," sahutku tegas, "Aku jamin itu. Buktikan aja nanti."
Esoknya, pagi-pagi sekali aku sudah pergi ke salon yang cuma terhalang 3 rumah dari rumahku. Memang suamiku menyuruhku berdandan secantik mungkin, seolah-olah mau pergi ke pesta bergengsi.
Waktu aku pulang dari salon, suamiku tertegun menyaksikan diriku yang sudah dirias dan didandani di salon tadi. Mungkin ia akan menilai betapa cantiknya aku ini, miliknya yang sangat dicintainya ini.
Pagi itu aku mengenakan gaun terusan berwarna kuning muda, muda sekali, mirip dengan warna kulitku yang putih kekuningan.
“Cocok…Erniku tampak cantik dan anggun sekali pagi ini…hmmm…aku bangga punya istri sepertimu, Sayang,” ucap suamiku sambil memegang kedua bahuku dengan senyum ceria.
"Mmm…juga kelihatan ganteng dan macho sekali pagi ini,” sahutku sambil memperhatikan suamiku yang sudah mengenakan celana denim hitam dengan baju kaus berwarna hitam pula. “Mau sarapan dulu Bang?" tanyaku.
"Masih kenyang. Tadi abis makan roti agak banyak," sahutnya, "mending kita berangkat aja. Kasian kalau mereka menunggu terlalu lama. Eh...kamu sendiri belum sarapan kan?"
"Udah tadi di salon beli bubur ayam, sambil nunggu pasien yang udah duluan dirawat."
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di dalam mobil yang sudah mulai meninggalkan pekarangan rumah. Selama aku dan suamiku belum pulang kusuruh Mimin agar tidur di rumah, karena suamiku merencanakan untuk pulang Senin malam atau Selasa pagi.
Di sepanjang perjalanan menuju villa yang letaknya tak terlalu jauh dari kotaku itu, Bang Yadi terus-terusan memberikan pengarahan, tentang apa yang harus kulakukan setelah berada di dalam kamar bersama Edo nanti. Dan aku cuma menanggapinya di dalam hati, semoga aku tega melakukannya nanti.
Karena biar bagaimana pun juga aku masih merasa bertentangan dengan hati kecilku sendiri. Tapi entahlah setelah berada di dalam villa itu nanti.
Villa yang sudah dipilih oleh suamiku dan Edo itu memang kelihatan megah sekali. Dari pekarangannya pun kelihatan artistik dan megahnya villa itu. Entah siapa pemiliknya. Di dalam villa megah itu, Edo dan istrinya benar-benar sudah menunggu kami.
Mereka langsung bangkit menyongsong kedatangan kami. Raisha mendahulukan memelukku sambil cipika-cipiki, sambil berbisik di dekat telingaku, “Kita ikuti aja kemauan suami kita ya Mbak.”
Aku cuma tersenyum sambil mencolek hidung Raisha yang mancung.
Dan ketika Edo menghampiriku, sementara Raisha menghampiri suamiku, jantungku berdegup kencang. Karena tatapan mata Edo itu…aaah…kenapa lututku terasa gemetaran begini ? Terlebih ketika ia memelukku, lalu cipika-cipiki padaku…ini untuk pertama kalinya ia cipika-cipiki padaku, padahal biasanya kalau bertamu ke rumah ia hanya menjabat tanganku saja. JUDI ONLINE
Lalu kami duduk di sofa putih yang diletakkan berbentuk L di ruang cengkrama itu.
Edo langsung menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas kecil. Aku dan Raisha kebagian red wine, sementara suamiku dan Edo memilih yang jauh lebih keras lagi kandungan alkoholnya.
Kami membuat toast, menyentuhkan gelas kami , "Tring....tring....tring....tring....". Lalu kami teguk isinya.
Kami mulai mengatur posisi di sofa berwarna putih bersih itu. Edo duduk merapat ke sisiku, sementara suamiku duduk merapat ke sisi Raisha yang saat itu tampak manis sekali di balik gaunnya berwarna hitam dengan pernak perniknya yang gemerlapan.
Tampaknya Edo sudah tak sabar lagi. Setelah menghabiskan isi gelas kecilnya, ia bangkit sambil memegang pergelangan tanganku.
"Silakan mau pilih kamar yang mana, Bang ?" kata Edo sambil menunjuk kedua pintu kamar yang terbuka.
Suamiku menjawab santai, “Kedua kamar itu kan sama persis keadaannya. Jadi silakan aja Edo pilih kamar yang mana.”
Edo mengangguk, menghampiri istrinya sambil mencium kedua pipinya. Suamiku pun melakukan hal yang sama, menghampiriku dan mencium bibirku lalu berbisik di telingaku, "Enjoy aja ya...jangan canggung...."
Aku tak menjawab. Cuma meremas pergelangan tangan suamiku dengan perasaan tak menentu.
Kemudian Edo menjinjing tas pakaianku dan tasnya sendiri sambil memberi isyarat padaku untuk melangkah masuk ke dalam kamar yang sebelah kiri. Aku pun mengikuti langkah Edo tanpa menoleh lagi ke arah suamiku.
Setelah berada di dalam kamar itu, Edo menutupkan pintunya sekaligus menguncinya....klik ! Dan aku semakin degdegan, karena aku dan sahabat suamiku itu sudah berada di dalam kamar yang tertutup dan terkunci.
Di dalam kamar itu ada bed yang cukup lebar, mungkin bisa dipakai tidur oleh 3-4 orang, ada satu set sofa dan sebuah televisi beserta dvd player di dekatnya, ada sebuah kulkas kecil, ada kamar mandi dan ada kursi kayu jati menghadap ke dinding kaca yang bisa menikmati indahnya pemandangan di luar sana.
Namun setelah diperhatikan ternyata villa ini berada di bibir tebing, sehingga di luar dinding kaca itu langsung menghadap ke jurang. Dan yang tampak indah adalah pemandangan di lembah terjal itu. Lalu aku menyadari, bahwa meski tirai dinding kaca itu tidak ditutupkan, takkan ada orang yang bisa melihat keadaan di di dalam kamar ini, karena letak dinding itu pas di bibir jurang terjal.
Ketika aku sedang berdiri di dekat dinding kaca tebal itu, tiba-tiba Edo memelukku dari belakang. Membuatku terhenyak. Karena aku tahu bahwa pelukan ini baru awalnya.
“Mbak Erni luar biasa cantiknya pagi ini,” bisik Edo di dekat telingaku, lalu terasa daun telingaku digigitnya perlahan, lalu dijilatinya. Aaaah…baru dijilati telinga saja batinku mulai berdesir-desir dalam angan-angan indah, meski bercampur takut juga.
Aku cuma menjawabnya dengan senyum, lalu berkata, “Aku mau ganti pakaian dulu ya.”
“Silakan Mbak,” sahut Edo sambil tersenyum.
Kubuka tas pakaianku dan kukeluarkan kimono sutra orange polosku. Lalu kubawa kimono itu ke dalam kamar mandi.
Di dalam kamar mandi kutanggalkan gaun dan behaku. Lalu kukenakan kimonoku. Sementara beha dan gaun kugantungkan di kapstok kamar mandi. Lalu dalam kimono orange tanpa mengenakan beha, aku keluar lagi dari kamar mandi.
Ternyata Edo juga sudah ganti pakaian, jadi bercelana pendek putih dengan baju kaus yang putih pula. Dan aku degdegan lagi ketika ia berdiri di depanku, dengan tatapan bersorot lain dari biasanya itu. Terlebih ketika sepasang telapak tangannya menempel di kedua belah pipiku. Lalu bibirnya mendekati bibirku dan…aaaah… aku cuma terpejam ketika bibir itu menciumku dengan hangat dan mesra.
Tapi mendadak aku teringat pesan suamiku, agar aku jangan bertindak pasif manakala Edo melakukan “sesuatu”. Maka kutegarkan hatiku untuk membalas ciumannya dengan melingkarkan lenganku di pinggangnya, sementara ciumannya pun kusambut dengan lumatan hangat.
Dan aaah…batinku seolah melayang-layang tak menentu, tak ubahnya layang-layang putus talinya di antara awan-awan putih dan kelabu…! Tapi sejujurnya harus kuakui, baru berciuman saja aku sudah dibuat melayang-layang indah dalam nikmatnya pergelutan bibirku dengan bibir dan lidah sahabat suamiku itu. LIVE CASINO
Terlebih ketika ia mengajakku duduk di sofa, aku benar-benar tak tahu lagi apa yang harus kulakukan karena aku dipaksa harus duduk di atas sepasang pahanya, sambil membelakanginya. “Saya ingin menikmati indahnya bersama Mbak Erni, jadi gak usah buru-buru ya Mbak. Waktu kita masih banyak, karena kita baru akan pulang hari Selasa pagi, sedangkan sekarang baru Sabtu pagi,” bisik Edo sambil memeluk pinggangku dengan hangatnya.
Aku setuju dengan ucapan Edo itu. Namun pada saat itu pula pendengaranku menangkap suara sayup-sayup…suara desahan dan rintihan histeris yang datang dari kamar sebelah. Pasti itu suara Raisha yang mungkin sudah mulai disetubuhi oleh suamiku.
Mungkin Raisha sedang hot-hotnya sambil menikmati keperkasaan suamiku. Dan…aaaah…getaran cemburu bergolak di dalam jiwaku. Cemburu yang membuatku seolah ingin membalasnya dengan hal yang serupa.
Lalu aku bergerak, tak lagi duduk di atas paha Edo, jadi merebahkan kepalaku di atas paha hangat yang cuma bercelana pendek itu. Ini terasa lebih mesra, karena aku bisa saling tatap dengan sahabat suamiku itu. Namun belahan kimonoku agak terbuka sehingga mungkin Edo mulai menyadari bahwa aku tak mengenakan beha.
“Mbak Erni penuh dengan daya pesona,” kata Edo dengan tangan mulai bergerak ke belahan kimonoku. Dan mulai menyentuh payudaraku, lalu meremasnya perlahan. Aku cuma tersenyum sambil membiarkan Edo menikmati kencangnya payudaraku, karena belum pernah menyusui dan selalu kurawat agar tetap kencang.
“Aku gak nyangka kita bisa jadi begini…” kataku sambil membiarkan Edo melepaskan ikatan tali kimonoku, karena mungkin ia ingin lebih leluasa lagi menjelajahi kemulusan dan kehangatan tubuhku.
“Hehehee…saya juga gak nyangka kalau Bang Yadi akan menyetujui acara ini,” sahut Edo dengan tangan masih menjelajahi sepasang bukit kembarku.
“Jadi memang Edo yang punya ide untuk acara ini ?”
“Iya Mbak. Tadinya cuma iseng melontarkan usul. Ternyata Bang Yadi setuju. Mmm…ini bekas operasi cezar, ya Mbak ?” tanya Edo sambil mengelus bekas operasi cezar di perutku.
“Iya, jadi bikin jelek ya ?”
“Ah nggak Mbak. Lagian kalau Mbak mau, sekarang kan bekas operasian bisa dirapikan sampai hilang sedikit demi sedikit. Lagian kalau dicezar, ininya masih seperti gadis,” kata Edo sambil menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Aaah…ini untuk pertama kalinya kubiarkan lelaki yang bukan suamiku menyentuh kemaluanku.
“Katanya gak usah terburu-buru karena waktu kita cukup panjang. Kok langsung nyentuh ke situ ?” ucapku sambil tersenyum.
“Soalnya ingin membuktikan bahwa wanita yang dicezar punyanya masih seperti gadis. Hmm…ternyata benar…” sahut Edo dengan jemari yang sudah mulai menyelip ke mulut kemaluanku.
“Tapi kalau sudah dibeginiin, aku suka langsung horny Do.”
“Kalau gitu mending pindah ke sana ya,” kata Edo sambil menunjuk ke arah bed, “Biar lebih leluasa.”
Aku mengangguk. Lalu bangkit dan mengikuti langkah Edo menuju tempat tidur.
Meski degdegan kubiarkan Edo menanggalkan kimonoku, lalu aku menelentang di atas tempat tidur, sambil mengamati Edo yang tengah menanggalkan baju kaus dan celana pendeknya. Setelah Edo tinggal bercelana dalam saja, seperti aku, tampak betapa bagusnya badan Edo itu. Tinggi tegap dengan otot-otot yang membuatnya tampak macho. Dan ketika pandanganku tertumbuk ke celana dalam yang masih melekat di tubuh Edo, ada bagian yang mengembung di situ, seolah ada sesuatu di baliknya yang ingin muncul di depan mataku. Iiih…menggemaskan sekali.
Kalau tidak malu, mau saja rasanya kutarik celana dalam Edo, lalu kugenggam sesuatu yang menggembung di balik celana dalam itu. Tapi hal itu tidak kulakukan, karena aku tak mau terkesan perempuan binal. Dan sebenarnyalah baru sekali ini aku berduaan dengan lelaki yang bukan suamiku di dalam kamar yang tertutup dan terkunci seperti ini.
Dan Edo merayap ke atas perutku, menghimpit dadaku sambil memeluk leherku. Menciumi bibirku dengan mesranya, lalu menjilati leherku dengan lahapnya. Manakala mulut Edo mencelucupi dan menyedot-nyedot pentil tetekku, dengan mata terpejam-pejam kuelus rambut lelaki muda itu, sementara kurasakan kemaluanku mulai membasah.
Tapi aku berusaha mengendalikan hasratku sendiri, lalu kunikmati celucupan dan jilatan Edo dengan mata terpejam-pejam, dengan batin semakin mengawang-awang.
Lalu mulut Edo melorot ke arah perutku. Menjilati pusar perutku yang menimbulkan geli-geli enak. Namun tangannya mulai memegang karet celana dalamku yang tipis transparan ini. Lalu menurunkannya ke bawah, diikuti oleh mulutnya yang mulai menyentuh kemaluanku….dan…ooooh…ia mulai menciumi kemaluanku, sementara celana dalamku sudah lepas dari kakiku. Bukan cuma menciumi, namun lalu menjilati kemaluanku dengan lahapnya.
“Edooo…aaa….aaaah…Edo….aaaaah…Dooo….ooo…ooooh….Dooo….” rengek dan desahku berlontaran begitu saja dari mulutku, dengan tubuh menggeliat-geliat dalam nikmat yang semakin membangkitkan nafsu birahiku.
Edo terlalu pandai menjilati kemaluanku. Setelah puas menjilati mulut kemaluanku, sasarannya terfokus ke kelentitku. Dan ketika Edo menjilati kelentitku secara intensif, bokongku pun terangkat-angkat ke atas, seakan terkena tarikan magnetis dari lidah dan bibir Edo.
Nikmat sekali. Tapi aku tak mau orgasme waktu Edo masih mengoralku, lalu liang kemaluanku jadi becek pada saatnya penetrasi nanti. Mka tanpa malu-malu lagi kupegang kepala Edo yang sedang berada di bawah perutku, sambil berkata dengan suara agak parau, “Udah Do….masukin aja itunya….!”
Edo menatapku dari bawah perutku. Mengangguk dan berlutut di antara kedua belah pahaku sambil menanggalkan celana dalamnya. Maaak….penis Edo itu, besarnya sih sama dengan penis suamiku, tapi….panjang sekali ! Jelas membuatku degdegan, karena terbayang nanti akan menyodok-nyodok dalam sekali…!
“Hihihi…serem…!” cetusku sambil menutupi mukaku dengan kedua telapak tanganku.
“Kenapa serem Mbak ?” tanya Edo sambil menyentuhkan kepala penisnya di mulut kemaluanku.
“Punya Edo itu…panjang banget.”
“Ah, perasaan sama aja gedenya dengan punya Bang Yadi.”
“Gedenya sih sama. Tapi punya Edo jauh lebih panjang…” ucapanku terputus karena terasa kepala penis Edo sudah menyeruak ke dalam liang kemaluanku yang sudah licin oleh air liur Edo berbaur dengan lendir libidoku.
Kurentangkan sepasang pahaku lebar-lebar sambil mendekap pinggang Edo. “Ooooh….udah mulai masuk Dooo…”
Saat itu kupejamkan mataku erat-erat. Dengan terawangan tak menentu. Karena ini pertama kalinya kubiarkan penis lelaki yang bukan suamiku menyelundup ke dalam liang kemaluanku. Jelas ini suatu peristiwa bersejarah di dalam kehidupaanku.
Ada perasaan bersalah di dalam hatiku, namun ketika mengingat suamiku yang sedang bersama Raisha di kamar sebelah, cepat kutindas perasaan bersalah ini. Terlebih ketika penis Edo mulai bergerak perlahan, maju….mundur….maju lagi….mundur lagi….oooh, semuanya ini membuatku lupa daratan…!
Yang membuatku heran adalah gerakan demi gerakan penis Edo itu…luar biasa enaknya. Jauh lebih enak daripada waktu digauli oleh suamiku sendiri. Kenapa bisa seperti ini ? Apakah karena dibantu oleh setan, agar aku sering-sering melakukannya dengan lelaki yang bukan suamiku ? Entahlah. Yang jelas Edo memang romantis juga seperti suamiku. Tapi Edo seperti dewa yang diturunkan dari langit, untuk membuatku melayang-layang di alam kenikmatanku yang teramat indah, bertaburkan tetesan-tetesan surgawi yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. LIVE BACCARAT
Bayangkan saja, suamiku kalau mencium bibirku hanya beberapa detik. Tapi Edo, sekalinya mencium bibirku dalam persetubuhan ini, bibirnya memagut dan melumat bibirku lamaaaa sekali. Sehingga tanpa canggung-canggung lagi kurengkuh lehernya ke dalam pelukanku. Dan kubalas lumatannya dengan lumatan pula.
Bahkan terkadang kujulurkan lidahku, yang lalu diisapnya di dalam mulutnya. Ooooh…ini luar biasa indahnya. Sementara penisnya dengan perkasanya menggenjot liang kewanitaanku, membuatku menggeliat, berdesah dan merintih-rintih histeris.
Tadinya aku berusaha mengendalikan suaraku, agar jangan sampai terdengar ke kamar sebelah. Tapi bukankah target suamiku ingin agar aku melakukan sesuatu yang bisa membangkitkan kecemburuannya dan lalu akan merangsangnya di kemudian hari ? Kenapa pula aku harus mengerem suaraku ?
Akhirnya aku tidak mengerem suaraku lagi. Desahan dan rintihan histerisku pun berlontaran begitu saja dari mulutku, “Edo…ooo…ooooh…Edooo….ooooh…genjot terus Doo…jangan brenti-brenti Dooo….ooooh….Edooo…ini….enak banget Dooo….”
Dan Edo semakin ganas menggenjotku. Sedangkan penisnya yang begitu panjang, membuat moncongnya terus-terusan menyundul-nyundul liang senggamaku. Maka tentu saja setiap kali moncong penis Edo terasa menyundul itu, aku pun terbelalak dan ternganga sambil menahan nafas, dalam nikmat yang luar biasa.
Semuanya itu membuatku lupa segalanya. Lupa bahwa Edo bukan suamiku. Namun pendengaranku masih sempat menangkap suara sayup-sayup itu. Suara Raisha…!
Makin lama suara itu makin jelas di pendengaranku, “Bang Yadi…oooh…Bang….Bang….iya Bang….entot terus Bang….oooooh….ooooh….!”
Geram juga aku mendengar rintihan-rintihan histeris Raisha itu. Tapi kenapa aku harus geram ? Bukankah aku juga sedang menikmati genjotan suami Raisha ? Kenapa aku tidak membalasnya dengan memberikan kepuasan bagi Edo, sambil berusaha untuk menciptakan kesan bahwa aku ini jauh lebih memuaskan daripada Raisha ?
Karena itu aku mulai menggoyang pinggulku sebinal mungkin, sebagaimana sudah diajarkan oleh suamiku. Pinggulku berputar-putar, meliuk-liuk dan menghempas-hempas, sehingga kelentitku jadi terus-terusan bergesekan dengan penis Edo.
Sementara itu Edo bukan hanya menggenjot penisnya di dalam liang kewanitaanku. Tangannya pun terus-terusan beraksi, meremas-remas payudaraku dengan lembut, sementara mulutnya pun tiada rehatnya menciumi bibirku, menjilati leherku dan bahkan menjilati ketiakku.
Semuanya itu membujatku merinding-rinding dalam geli-geli enak…geli-geli yang hanya bisa dirasakan pada waktu bersetubuh.
“Do…” ucapku setengah berbisik, sambil menghentikan goyangan pinggulku sejenak, “Kenapa sih em-el sama Edo kok enak banget gini sih ?”
“Saya juga merasakan hal yang sama Mbak,” sahut Edo sambil melambatkan entotannya, “Soalnya punya Mbak Erni terasa seperti mencengkram gini….legit banget…”
Aku merasa tersanjung dengan ucapan Edo itu. Lalu kugoyang lagi pinggulku sebinal mungkin. Namun keseringan kelentitku bergesekan dengan penis Edo membuatku cepat melayang ke titik terindah itu…titik orgasmeku.
Tapi sebelum kufokuskan untuk menikmati orgasmeku, Edo menyeringai seperti menahan sesuatu. Dan berkata terengah-engah, “Mbak…lepasin di…di mana ?”
“Di dalam aja. Aman. Emangnya Edo udah mau keluar ?” tanyaku tersengal juga.
“Iii…iya Mbak…”
“Ayo lepasin bareng-bareng Do. Aku juga udah hampir orga…!”
“Iii…iya Mbak….”
“Ayo Do…entot yang keras Do…iya…iya…entot terus Dooo….ini aku udah mau orgaaaa….”
Saat itu aku dan Edo sama-sama seperti kerasukan. Saling cengkram dengan kuatnya, seolah ingin saling meremukkan. Sementara penis Edo bergerak cepat dan keras, gedak-geduk seolah memompa liang kemaluanku.
Lalu kami capai puncak kenikmatan birahi itu bersama-sama…puncak yang indah…teramat indah……
Bahwa Edo membenamkan penisnya yang sedang menembak-nembakkan air maninya, sementara liang kemaluanku pun bergerak-gerak spontan di puncak orgasmeku. Dan Edo terkapar di atas perutku, dalam dekapan hangatku.
Ah…tak kusangka ajakan suamiku itu indah sekali.
Sebenarnya usia Edo sebaya dengan suamiku, dengan sendirinya ia lebih tua dariku. Tapi ia tetap membahasakan “Mbak” padaku, mungkin karena menghormati suamiku.
Memang yang aku tahu, suamiku selalu dipanggil “Boss” oleh rekan-rekan bisnisnya, hanya Edo yang dilarang memanggil boss, lalu memakai istilah “Bang”. Karena di antara teman-teman bisnis suamiku, Edolah yang paling dekat hubungannya dengan suamiku.
Pernah aku menanyakan kenapa teman-teman suamiku suka memanggil boss kepada suamiku. Dan suamiku menjawab, bahwa dalam setiap gerakan bisnis mereka, suamikulah yang selalu siap menalangi biaya-biaya operasional yang harus dikeluarkan.
Misalnya jika team suamiku harus berangkat ke luar kota bahkan terkadang harus menginap di hotel, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada saat-saat seperti itulah suamiku tampil sebagai boss, karena di antara team bisnisnya, suamikulah yang sudah duluan sukses. Itulah sebabnya suamiku selalu dihormati dan dipanggil boss oleh rekan-rekan bisnisnya.
Aku sendiri merasa dekat dengan Edo, juga dengan Raisha yang sering diajaknya bertamu ke rumahku. Tapi….sedikit pun aku tak pernah menduga sebelumnya, bahwa Edo akan menjadi lelaki pertama selain suamiku, yang telah menikmati kehangatan kewanitaanku.
Kini Edo masih terkapar, terlentang di sampingku. Namun ketika ia melihatku memperhatikannya, ia tersenyum. Lalu menelungkup di sampingku, sambil mengusap-usap payudaraku. Dan berkata lembut, “Kayaknya saya bakal ketagihan sama Mbak Erni. Soalnya…wah…yang tadi saja mengesankan sekali. Luar biasa…!”
Aku cuma tersenyum. Padahal hatiku berkata yang sama. Bahwa mungkin aku pun akan ketagihan kelak. Tapi tentu saja semuanya harus berdasarkan kemauan suamiku.
Memang dalam keadaan yang sudah ketelanjuran begini aku tak lagi mempertimbangkan yang benar dan yang salah. Aku hanya mempertimbangkan bahwa ternyata kisah yang baru saja terjadi dengan lelaki bernama Edo itu fantastis sekali. Maka ketika kupegang penis Edo yang ternyata sudah keras kembali itu, tanpa sungkan-sungkan aku berkata, “Ayo Do…mainkan lagi meriamnya ini…”
Beberapa saat kemudian Edo sudah berada di atas perutku lagi sambil berusaha membenamkan penisnya ke dalam liang kenikmatanku. Dan …. blessss…melesak masuk ke dalam liang kemaluanku, tak sesulit yang pertama tadi.
Kurengkuh leher Edo ke dalam pelukanku sambil berbisik, “Udah masuk Do…aaah…kenapa ya punya Edo kayak ada strumnya gini….langsung terasa enaknya sampai ke ubun-ubun….”
“Punya Mbak Erni juga terasa legit dan mencengkram sekali…ini luar biasa enaknya Mbak…” sahut Edo sambil menarik penisnya perlahan-lahan…lalu mendorongnya lagi…menariknya lagi dan mendorongnya lagi….aaaah…semuanya ini kunikmati sambil memeluk Edo seerat mungkin, seolah tak mau menjauh walau cuma sesentimeter pun.
Aku sendiri memang lain dari biasanya. Bahwa gesekan demi gesekan antara penis Edo dengan liang kewanitaanku, benar-benar kuresapi dan kunikmati. Bahkan setiap kali Edo mencium dan melumat bibirku, selalu kuresapi indahnya. Sehingga aku sering menyambutnya dalam bentuk pelukan dan remasan, terkadang aku pun membelai rambutnya yang agak ikal.
Seperti yang pertama tadi, Edo tak cuma mengayun penisnya di dalam jepitan liang kemaluanku. Mulut dan kedua tangannya pun beraksi. Terkadang ia mencium dan melumat bibirku, sambil saling sentuhkan lidah. Terkadang ujung lidahnya menyapu-nyapu leher kiriku, leher kananku dan bagian di bawah dagyuku.
CERITA SEKS - Terkadang juga mengemut pentil buah dadaku. disertai isapan-isapan yang membuatku semakin terlena dalam arus kenikmatan. Bahkan tak jarang ia menjilati ketiakku yang senantiasa bersih dari bulu dan selalu kuharumkan dengan parfum. Sementara itu sepasang tangannya pun seakan melengkapi keindahan yang sedang kunikmati ini. Terkadang tangan Edo meremas payudaraku, terkadang memeluk leherku, terkadang juga mengelus rambutku sambil melumat bibirku.
CERITA SEKS - Terkadang juga mengemut pentil buah dadaku. disertai isapan-isapan yang membuatku semakin terlena dalam arus kenikmatan. Bahkan tak jarang ia menjilati ketiakku yang senantiasa bersih dari bulu dan selalu kuharumkan dengan parfum. Sementara itu sepasang tangannya pun seakan melengkapi keindahan yang sedang kunikmati ini. Terkadang tangan Edo meremas payudaraku, terkadang memeluk leherku, terkadang juga mengelus rambutku sambil melumat bibirku.
O, semuanya ini terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata belaka. Di dalam tubuhku seolah mengalir arus nikmat yang menyelusuri setiap mekanisme syarafku, dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. Yang membuatku lupa segalanya. Lupa bahwa aku ini seorang istri yang sudah punya anak. Saat ini yang kuingat hanya satu, bahwa genjotan penis Edo membuatku menggeliat dan terpejam sambil menahan nafas.
Maka aku pun mulai menanggapinya dengan goyangan pinggulku, yang membuat liang kemaluanku seakan membesot-besot dan memilin-milin penis Edo.
Dalam persetubuhan yang kedua ini, Edo benar-benar perkasa, sehingga aku dibikin orgasme dua kali lagi sebelum Edo memuntahkan cairan kental hangatnya di dalam liang senggamaku.
Banyak….banyak sekali yang terjadi selama tiga malam berada di villa itu. Sehingga pada waktu mau pulang dari villa itu wajah kami semuanya pucat dan tampak letih.
Aku sendiri merasa letih sekali. Namun batinku seolah tanaman yang baru disiram air hujan lebat terus-terusan, agak berantakan namun segar dan menghijau…!
Tapi ketika aku sudah berada di samping suamiku yang sedang nyetir, aku tak banyak bicara. Cuma menyandarkan kepalaku di bahu suamiku.
“Bagaimana kesannya ? Menyenangkan gak ?” tanya suamiku di depan setir mobilnya.
Aku tak berani menjawab, takut salah ucap. Karena semua yang telah terjadi di villa itu seakan masih tabu untuk dibicarakan. Karena semuanya masih terlalu segar di dalam ingatanku.
“Kok diam ?” tanya suamiku lagi ketika mobil kami sedang melewati daerah hutan pinus.
“Aku hanya mengikuti keinginan Abang….” sahutku ragu.
“Iya,” kata suamiku, “Sekarang aku ingin tau bagaimana kesannya ? Menyenangkan apa membosankan ?”
“Abang sendiri gimana ? Puas setelah menggauli Raisha ?”
“Kata orang, rumput di pekarangan rumah orang lain selalu tampak lebih hijau daripada rumput di pekarangan sendiri. Nah…coba jawab secara jujur. Apakah hatimu senang dengan acara yang telah terjadi selama tiga malam itu ?”
Aku mengangguk perlahan. “Tapi Edo kan sudah merasakan tubuhku. Aku takut nantinya jadi ketagihan Bang,” kataku.
“Gak apa-apa. Bahkan kalau kamu yang ketagihan, juga gak apa-apa. Yang penting minta izin dulu padaku, lalu laporkan semuanya padaku setelah pertemuan itu nantinya.”
“Iiih…Abang benar-benar rela kalau aku digauli oleh lelaki lain ?”
“Kalau Edo lelakinya, aku rela, Sayang.”
“Emangnya Abang sudah gak punya perasaan cemburu lagi ?”
“Tentu saja aku cemburu sekali. Tapi dari cemburu itu lalu akan bangkit semacam rangsangan yang luar biasa nantinya. Kalau gak percaya, nanti rasakan sendiri. Gairahku akan menggebu-gebu terus setiap kali ingat apa yang telah terjadi di antara dirimu dengan Edo itu.”
“Tapi…aku takut cinta Abang padaku jadi memudar.”
“Itu takkan pernah terjadi, Sayang. Kita kan sudah punya anak. Kamu sudah ikut program kabe. Jadi, anggap saja Edo itu sebagai bagian daripada sarana refreshing kita. Just for fuck. Hahahaaa…”
Setibanya di rumah kami memang istirahat penuh. Tapi dua hari kemudian aku mulai merasakan bahwa gairah suamiku (untuk menggauliku) jadi gila-gilaan. Terlebih ketika suamiku menyetubuhiku sambil mengaktifkan hapenya, yang ternyata berisi rekaman video persetubuhanku dengan Edo.
Gila…ternyata Edo merekam adegan-adegan hot ketika sedang menggauliku di villa itu. Pasti semua itu ia lakukan atas permintaan dari suamiku. Ataukah mereka sudah sepakat untuk sama-sama merekamnya ? Lalu…apakah suamiku juga sudah merekam persetubuhannya dengan Raisha ?
Entahlah. Meski suamiku merekamnya, aku tak ingin melihatnya ! Mungkin inilah perbedaan antara Bang Yadi denganku.
Gila…ternyata Edo merekam adegan-adegan hot ketika sedang menggauliku di villa itu. Pasti semua itu ia lakukan atas permintaan dari suamiku. Ataukah mereka sudah sepakat untuk sama-sama merekamnya ? Lalu…apakah suamiku juga sudah merekam persetubuhannya dengan Raisha ?
Entahlah. Meski suamiku merekamnya, aku tak ingin melihatnya ! Mungkin inilah perbedaan antara Bang Yadi denganku.
Semuanya itu terasa aneh bagiku. Tapi makin lama aku makin terbawa ke dalam arus pikiran suamiku. Bahwa persetubuhanku dengan Edo menimbulkan akibat positif bagi suamiku, yang juga mendatangkan kenikmatan tersendiri bagiku.
Tapi di balik semuanya itu ada tanda tanya besar di dalam benakku. Apa dan siapa sebenarnya suamiku itu ? Kenapa ia seolah begitu tenang menghadapi kejadian yang sudah direncanakannya itu ?
Tentang diriku tak usah dipertanyakan lagi. Bahwa sejak menjadi istri Bang Yadi, aku teramat sangat setia padanya, karena mata hatiku seolah sudah ditutup untuk lelaki lain. Seratus persen hatiku hanya milik Bang Yadi seorang.
Petualangan kami tak berhenti sampai di situ. Bahkan semua itu baru awalnya. Awal dari kebiasaanku menyerahkan diriku ke dalam pelukan lelaki yang bukan suamiku. Pada suatu malam aku pun dithreesome oleh Edo dan suamiku, yang sudah dicatat secara lengkap oleh suamiku, tak usah diulang lagi.
Aku hanya ingin berkomentar bahwa dithreesome seperti itu memang fantastis sekali. Karena aku dipuasi oleh dua jenis penis yang berbeda ukuran dan gayanya. Lebih dari 5 kali pula aku disetubuhi oleh mereka. Oooo…sungguh tak kuduga kalau aku akan mengalami semuanya itu.
Aku hanya ingin berkomentar bahwa dithreesome seperti itu memang fantastis sekali. Karena aku dipuasi oleh dua jenis penis yang berbeda ukuran dan gayanya. Lebih dari 5 kali pula aku disetubuhi oleh mereka. Oooo…sungguh tak kuduga kalau aku akan mengalami semuanya itu.
Segala yang telah kualami dan kurasakan itu takkan kulupakan seumur hidupku.
Sampai pada suatu hari, suamiku terbang ke Surabaya, untuk meeting dengan teman-teman bisnisnya (para pemain bisnis besi tua).
Entah kenapa setelah suamiku pergi libidoku terasa berdesir-desir begini. Dari pagi hingga sore membayangkan nikmatnya disetubuhi oleh Edo itu.
Aku berusaha melupakannya. Tapi ketika aku menyelinapkan tangan ke balik celana dalamku, sambil mengelus-elus kemaluanku sendiri…aaaah….aku benar-benar tidak kuasa menahan hasrat birahiku ini.
Akhirnya aku mencari nomor Edo di hapeku. Dan :
“Hallo Mbak Erni…apa kabar ?”
“Baik-baik aja. Lagi di mana Do ?”
“Lagi di toko hape Mbak. Mau ganti hape nih, udah sering hang sih.”
“Sama Raisha ?”
“Nggak. Raisha lagi ke Semarang, ke rumah tantenya.”
“Iiih…kita senasib Do. Bang Yadi juga lagi ke Surabaya. Katanya sih semingguan gitu di Surabayanya, karena banyak yang mau diurus.”
“Oh iya…kemaren dia juga sempat membicarakannya denganku. Aku ditugaskan untuk merapikan klien yang di sini, karena besinya mau dikirim ke sini.”
“Terus….Edo gak kangen sama aku ?”
“Heheheee…kangen berat Mbak. Emang Mbak juga kangen padaku ?”
“Banget…!”
“Terus…gimana kalau kita lepasin kangen kita malam nanti ?”
“Boleh. Tapi jam delapanan aja datangnya. Setelah tokoku ditutup.”
“Sip Mbak. Aku akan merapat ke rumah Mbak jam delapan nanti.”
“Iya…aku tunggu ya Do…mwuaaah…!”
“Mwuaaaah….!”
Aku tersenyum sendiri. Dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Aku tak merasa melanggar. Karena suamiku sudah mengijinkan, bahwa aku boleh menelepon Edo untuk datang ke rumahku jika aku kangen padanya.
CERITA DEWASA - Katakanlah Edo sudah punya “lisensi” khusus untuk ketemuan denganku kapan saja, tanpa harus meminta izin dari suamiku dulu, asalkan aku mencatat apa yang telah terjadi dengan Edo nanti, lalu memberikan catatan itu kepada suamiku. Mungkin catatan pengakuanku itu akan menjadi perangsang yang sangat hebat untuk suamiku. Semakin dia cemburu, semakin terangsang dia nanti.
CERITA DEWASA - Katakanlah Edo sudah punya “lisensi” khusus untuk ketemuan denganku kapan saja, tanpa harus meminta izin dari suamiku dulu, asalkan aku mencatat apa yang telah terjadi dengan Edo nanti, lalu memberikan catatan itu kepada suamiku. Mungkin catatan pengakuanku itu akan menjadi perangsang yang sangat hebat untuk suamiku. Semakin dia cemburu, semakin terangsang dia nanti.
O, Bang Yadi tercinta. Terima kasih untuk semuanya ini…!
Jam delapan lebih lima menit Edo sudah datang. O, betapa kangennya aku pada sahabat suamiku itu. Sehingga setelah ia masuk dan pintu ditutupkan sekaligus dikuncikan, aku langsung memeluknya dalam keadaan masih sama-sama berdiri.
Edo pun mendekap pinggangku sambil mencium bibirku dengan hangatnya.
“Edo,” kataku setelah kami duduk berdampingan di sofa ruang tamu, “aku kok kangen terus sama Edo…kenapa ya ?”
“Sama Mbak. AKu juga terbayang-bayang terus nikmatnya menggauli Mbak. Tapi kita harus membatasi diri, karena aku sudah punya istri, Mbak juga sudah punya suami.”
“Iya. Tapi tadi aku sudah nelepon Bang Yadi. Untuk minta ijin mengundang Edo ke sini. Dan Bang Yadi ngasih lampu hijau.”
“Aku juga sebelum berangkat nelepon Bang Yadi dulu. Dia ngasih ijin. Bahkan sekarang ini sebenarnya aku datang berdua dengan keponakanku. Dia nunggu di rumah makan yang di seberang jalan itu.”
“Lho ?! Kenapa bawa-bawa keponakan segala ? Terus kalau dia nunggu di rumah makan itu kasian dong. Edo mau nginap di sini kan ?”
“Dia itu masih tergolong ABG Mbak. Umurnya baru tujuhbelas tahun. Dia sering curhat padaku, ingin merasakan seperti apa enaknya bersetubuh dengan perempuan itu, karena dia benar-benar perjaka tingting. Makanya kuajak dia ke sini, hitung-hitung belajar tentang caranya bersetubuh Mbak.”
“Idiiih…Edo kok gitu ? Aku kan hanya diijinkan dengan Edo doang. Kalau ada orang ketiga, berarti aku melanggar peraturan Bang Yadi.”
“Aku sudah menceritakan masalah ini pada Bang Yadi. Dan dia sudah ngasih ijin Mbak. Dia hanya minta jangan ada double penetration. Itu aja pesannya. Kalau Mbak gak percaya, silakan telepon Bang Yadi sekarang.”
“Beneran Bang Yadi udah ngasih ijin ?”
“Kalau gak percaya silakan telepon Bang Yadi sekarang.”
“Gak ah…besok aja. Takut ganggu konsentrasi Bang Yadi yang lagi meeting.”
“Ada beberapa keuntungan yang bisa Mbak alami nanti dengan hadirnya keponakanku itu. Pertama, Mbak akan menerima kebujangan dia…bisa bikin Mbak awet muda lho.”
“Terus ?”
“Acara kita akan jadi hot. Mbak bisa merasakan dua jenis laki-laki malam ini. Pasti seru. Apalagi keponakanku itu kan masih nol jam terbangnya.”
Aku terdiam.
Kata Edo lagi, “Aku sih takut kalau dia akhirnya mencari pelacur untuk melepaskan kebujangannya. Makanya aku ajak dia ke sini.”
“Tapi Edo tanggung jawab ya sama Bang Yadi.”
“Iya Mbak. Aku tanggung jawab. Udah dapat ijin kok dari boss.”
“Ya udah…panggil deh keponakannya ke sini. Kasian dia nungguin di rumah makan itu.”
Setelah Edo keluar, buru-buru aku masuk ke kamar mandi. Menanggalkan celana dalamku, lalu membersihkan kemaluanku sebersih mungkin. Bahwa aku akan mengalami sesuatu yang baru lagi. Akan mendapatkan laki-laki yang baru tujuhbelas tahun, yang aku belum tahu seperti apa tampak dan bentuk badannya.
Pada waktu membersihkan kemaluanku, yang disebut nafsu birahi semakin menggodaku. Membayangkan sentuhan Edo di bagian yang sedang kuelus-elus dan kubersihkan ini. Lalu kubayangkan pula sentuhan anak muda yang katanya masih perjaka tinting itu.
Memang aku sering mendengar bahwa disetubuhi oleh perjaka tingting akan membuat wanitanya awet muda. Bahkan aku juga sering mendengar bahwa menelan sperma lelaki remaja sangat baik untuk kulit, terutama kulit muka.
EmoticonEmoticon