Tante Lendir - Aku punya teman (ah... ah.. ah...). No, ini bukan lagunya duet ratu. Aku punya teman baik, kawan karibku di kantor. Sekarang dia sudah pindah ke kantor lain yang menawarkan offering lebih bagus. Tapi kami masih berhubungan baik karena kami berdua punya side job sebagai fotografer pre-wedding. Dari sinilah aku jadi akrab dengan keluarganya, meskipun sebaliknya tidak. Aku yang tinggal sendiri merantau di Jakarta tidak banyak yang bisa dishare ke temanku ini, malah justru mereka yang kuanggap sebagai keluargaku. Dengan keakraban kami, aku juga kenal baik dengan istrinya. Mereka menikah 3 tahun yang lalu. Namun hingga kini belum dikaruniai dengan buah hati oleh Tuhan.
Mereka seringkali ribut dan kawanku ini suka curcol soal hal ini. Hingga suatu ketika, sehabis sesi foto prewedding di daerah Pantai Indah Kapuk, kawanku berkata "Bro, gw udah kenal lo berapa lama sih?" "Ya dari gw masuk PT XYZ, lo kan udah lama disana yang punya kantor. mmmm... berapa lama ya? 5 tahun kali?" "Iya, selama ini gw udah nyaman banget bareng sama lo, kerja sama lo, gila2an juga sama lo" Heummmm... apaan nih, jangan2 ntar dia bilang, dia gay trus suka sama gw x____X. "Wah kenapa nih bro, tumben2an lo aneh begini?"*
"Gini bro, gw ada satu permintaan sama lo. Lo tau kan gw sama istri gw udah 3 tahun married tapi belom punya anak. Gw berdua udah cek ke dokter dan kondisi gw sama istri gw sebenernya sehat kok" "Yaaaudahalaaah" kupikir dia mau bilang apaan. "Mungkin emang belom dikasi sama Tuhan, kali lo disuruh senang-senang dulu bro, lo berdua kan kerja, jabatan oke, gaji juga oke, lo berdua bahkan sering jalan-jalan keluar negeri" Memang betul bahwa karibku dan istrinya ini dari segi karir sukses luar biasa. Sejak pindah ke kantornya yang baru, dia langsung melejit bisa menduduki posisi Senior Manager yang sangat diandalkan oleh Dewan Direksi. Istrinya pun begitu, selalu dengan gampangnya memuluskan deal-deal perusahaan, maklum istrinya bekerja di bidang distribusi komponen pembangkit listrik. Kebayang dong margin mereka gimana?
"Yaaah bukan gitu bro, gw ngerasa hidup gw hampa aja gak ada anak, istri gw juga ngerasa begitu." "Yah, terus gimana bro, mungkin lo coba usaha lagi aja selama 1 tahun maybe" "gak bisa bro, istri gw udah nyerah". "Oookkkeeeey, trus permintaan apaan yang lo maksud?" "Gini...." dia berhenti sejenak tidak melanjutkan kalimatnya. "Gini...." "eaaaahhhh.... lama daaah" "Iye iyeee, gini, gw minta bantuan lo untuk bikin istri gw hamil." And I said WHATTT???? "Serius bro, lo jangan becanda deh, aneh2 aja." aku terhenyak mendengar permintaan dia. Gila aja, ini kan sama aja aku menghianati karibku sendiri, seseorang yang sudah kuanggap kakak. "Seriusan ini.... gw udah diskusi panjang lebar sama istri gw soal ini."
"Gak bisa lah bro, gila aja lo, gw bukannya gimana2, cuma men, lo sama gw kan udah temenan lama, gw udah anggap lo kayak abang gw sendiri, mmmm.... gak ada alternatif lain apa? misalkan bayi tabung?" "gak lah, bayi tabung kemahalan, gw udah konsul sama beberapa dokter di Indonesia sama di Singapore, biayanya gede banget, bisa dapet Honda Jazz gw, belum lagi rasio keberhasilannya cuma 65%. Gw gak bisa ambil chance cuma segitu" Kawanku ini seorang akuntan yang handal, semuanya diperhitungkan dari sudut pandang matematis. Pernah kami backpackeran ke Indonesia Tengah (Bali, Lombok, Flores, Timor) yang ada kalo backpackeran kan ngegembel, seadanya duit. Ini dia nggak, semua tercatat rapi, tips tukang parkir, biaya kereta, biaya ferry dll.
"Yaaa, apa kek, mmm.... adopsi gimana?" "nggak lah, kita gak tau orang tua si anak ini kayak gimana" "Yang nentuin sikap anak itu bukan siapa ortunya, tapi lingkungan dia? gw yakin kal... " kawanku sudah memotong tidak mau mendengar "Gini bro, gw bukannya sembarangan minta tolong sama lo, gw udah tau background lo, gw diam-diam research tentang lo, keluarga lo, riwayat medis lo *jangan tanya gimana caranya*, ditambah lagi, gw udah kenal sama lo udah lama banget, lo orangnya gak macem-macem yaaah bandel2 dikit okelah cuma kan gak parah2 amat, lo kenal baik sama istri gw, lo kenal sama bokap nyokap gw, adek-adek gw. Ya kalo lo mau masuk Kartu Keluarganya bokap gw, pasti dengan senang hati mereka nerima. Intinya, gw udah bicarain masalah ini panjang lebar, pro-kontra, konsekuensi dan segalanya sama istri gw dan kita berdua setuju"*
"Oke, kalo boleh tau emang yang milih gw siapa, lo apa istri lo?" "kita berdua spontan kalo nggak ada kandidat yang lebih tepat selain lo" Wah terharu aku mendengarnya. "Gw gak bisa mikir sekarang nih bro, lo boleh kasi gw waktu buat mutusin ini gak? ini rada aneh dah permintaannya."
Diam-diam setan, aku memang mengagumi istri kawanku ini. Bisa dibayangkan lah wanita muda, mmmm gak terlalu muda sih karena umurnya sekarang sudah 32 tahun, umurnya beda 5 tahun dengan umurku, berpenampilan layaknya eksekutif muda, setiap kali bertemu kalau dia menjemput kawanku ini, dia selalu menggunakan blazer kantoran yang justru menonjolkan sex appealnya.
Kulitnya tidak terlalu putih, namun bersih, rambutnya dipotong sebahu, badannya juga gak terlalu langsing. Tingginya semampai, ideal jika diperhatikan mungkin tingginya sedaguku. Tapi the main attractionnya adalah her boobs. Her big melon boobs. Aku perkirakan mungkin ukurannya sudah 34D. Mungkin juga besarnya ini ditunjang oleh body mass dia yang memang tidaklah kurus. Bahkan dalam balutan blazer kerja resmi pun yang sangat tertutup, siluet bongkahan gunung kembarnya seperti menyihir untuk memandangi.
Makanya setiap kali aku ngobrol dengan istri kawanku ini, aku selalu fokus dengan ngobrol sambil melihat ke pangkal hidungnya. Aku terlalu takut untuk eye contact, tapi juga tidak mau mataku jelalatan ngeliatin toket gedenya. by the way, namaku Rendi, karibku ini bernama Wein sedangkan istrinya bernama Rini.
Sudah hampir dua minggu aku memikirkan hal ini tidak kunjung tuntas. Aku tau gimana nikmatnya menggenjot tubuh Rini dengan sepenuh nafsu, apalagi udah dapet izin dari suaminya. Namun aku masih merasa ada yang mengganjal. Aku tetap merasa tidak enak dengan Wein. Wein ini baik sekali denganku, benar-benar seperti abang sendiri. Sudah tidak terhitung berapa kali dia meminjamkanku uang untuk utang2ku, meminjamkan mobilnya, meminjamkan peralatan kameranya. Bahkan bisa dibilang, side job fotografer pre-wedding ini modalnya 90% dari dia sedangkan aku modal dengkul saja.
TINUNINUNG* BBku berbunyi tanda pesan baru diterima. Dari Wein. "Bro, gimana nih, udah ada keputusan belom?". Aku belum membalas, tapi pasti di ujung sana, dia sudah tau kalau aku sudah membaca pesannya. *TINUNINUNG* pesan baru masuk lagi. "Bro, please lah, help me, I have never ask you for any help. Gw bukannya mau ngungkit2 apa yang udah gw pernah bantu ke lo. Tapi please..." Mungkin kalau orang lain yang membaca pesan itu akan terbaca bahwa Wein ini pamrih dalam memberi bantuannya. Namun tidak bagiku, aku tau persis aku sudah berhutang banyak dari kebaikan yang diberikan Wein. "Oke bro, gw setuju. I hope this is not one of your sick jokes." "GREAT!!!! gw kabarin istri gw."
Hari itu hari Rabu, kami janjian untuk ketemuan di Plasa Senayan (PS). Aku selalu suka PS, karena gak terlalu crowded, jadinya untuk nongkrong pun enak. Kami janjian di food court. Aku sudah menunggu agak lama hampir 20 menitan, cemilan french friesku pun udah hampir habis, tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang "Hi Ren..!" salam Rini kepadaku dia tiba dengan Wein dari arah belakang. Aku kali ini benar-benar canggung bertemu dengan mereka, tidak seperti biasanya
"Eeehh hai.. Mbak" "Mbak? Mbaak? sejak kapan kamu manggil aku Mbak?" protes Rini kepadaku "Grogi dia" celetuk Wein. Dan memang benar, aku lagi super grogi, tanganku seketika berkeringat basah dan aku salting. "Ren, udalah nyantai aja." "eeeh iya Rin" "Rin? duh kamu rileks deh, sekali2nya kamu manggil aku Rini" Betul, aku selalu memanggil Rini dengan panggilan teteh. Karena dia dan Wein lebih tua daripadaku, lebih tua 5 tahun. x____X
Akhirnya setelah pulang dari Plasa Senayan kami langsung menuju ke rumah Rini dan Wein. Berselang seminggu kemudian, saya mendapatkan kabar dari Wein bahwa istrinya sudah hamil, dan mereka sangat berterima kasih kepadaku.
EmoticonEmoticon