Tante Lendir - Aku yang mengatuk tiba tiba dikagetkan dengan tepukan di bahuku oleh pramugari dan sebentar lagi pesawat sudah landas di bandara Bangkok, dengan ramah pramugari tersebut member tahu untuk mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan kursi, dengan lembut dia berkata “maaf pak sebentar lagi pesawat mau mendarat mohon kencangkan sabuk pengamannya , terimakasih”
“Oh, ya. Terima kasih,” jawabku, yang dibalas dengan senyuman lembut padaku.
Setelah mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi, aku lalu menaikkan penutup jendela yang tadi aku turunkan, untuk menghidari masuknya cahaya matahari agar jangan sampai menganggu tidurku.
Dari jendela pesawat, aku melihat gedung-gedung pencakar langit yang banyak bertebaran di Bangkok, ibukota Thailand yang dijuluki sebagai negara “Gajah Putih” itu.
Oh, ya. Kedatanganku ke Bangkok adalah dalam rangka memenuhi undangan Mr. Charles Phong, seorang pengusaha sukses serta memiliki beberapa tempat hiburan terkenal di Bangkok. Mr. Phong akan melaksanakan pesta pernikahan putri satu-satunya, dan aku diundang khusus untuk menghadiri pesta tersebut.
Perkenalanku dengan Mr. Charles Phong, berawal dari adanya usaha perampokan dan perkosaan terhadap putrinya itu di Bali 2 tahun lalu. Waktu itu, kebetulan aku mendengar ada jeritan wanita minta tolong dalam bahasa Inggris.
Reflek, aku coba mencari sumber suara minta tolong itu, dan ternyata di salah satu tempat yang sepi dan gelap, aku melihat dua orang pemuda tanggung sedang berusaha memperkosa seorang gadis cantik.
Sebagian pakaiannya telah copot dari tubuhnya, dan sejumlah uang serta perhiasan miliknya juga sudah dikuasai pemuda tanggung itu.
Dengan ilmu bela diri yang aku miliki, akhirnya aku berhasil menggagalkan upaya pemerkosaan dan perampokan itu, sementara pelakunya aku serahkan kepada polisi untuk diproses.
Dan ayah wanita tersebut, yang ternyata seorang pengusaha sukses di Bangkok, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih padaku, sekaligus menyatakan aku sebagai saudara angkatnya. Dan meskipun usaha perampokan dan perkosaan terhadap putrinya itu berhasil aku gagalkan, namun putrinya tersebut sempat mengalami stress dan trauma selama beberapa hari.
Sekarang, putrinya itu akan melaksanakan pernikahan dengan seorang diplomat Thailand yang masih muda dan ganteng. Mr. Charles Phong beberapa hari lalu mengirim email agar aku dapat menghadiri pesta pernikahan putrinya tersebut, sekaligus menstransfer uang sebesar 50.000 Bath (sekitar Rp 10 juta) ke rekeningku untuk biaya keberangkatan aku ke Bangkok.
“Kami tunggu sekeluarga kedatanganmu di Bangkok, dan kami berharap kamu sudah sampai di Bangkok sehari menjelang pesta. Kami sekeluarga, terutama putriku akan sangat kecewa bila kamu tidak hadir dalam pesta kami,” tulisnya dalam email tersebut.
Dan kini, aku telah menginjakkan kaki di bandara Don Muang Bangkok, setelah terbang beberapa jam dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Begitu selesai cap pasport tanda diizinkan masuk ke negara “Gajah” itu, aku lalu melangkahkan kaki menuju gerbang keluar.
Ternyata di pintu tempat para penjemput menunggu, aku melihat seorang cewek cantik mengenakan jeans dan kaos ketat membentangkan sebuah kertas karton putih ukuran 30×15cm menutupi dadanya yang bertuliskan, “Sandy” dan matanya liar memperhatikan satu-persatu penumpang yang keluar dari Arrival Gate luar negeri.
“Anda keluarganya Mr. Charles Phong..?” tanya saya dalam bahasa Inggris pada cewek itu, untuk memastikan apakah benar ia datang untuk menjemputku.
“Sandy..?” cewek itu bertanya sambil menurunkan kertas karton yang dipajangnya tadi, sehingga tampaklah bongkahan dadanya yang membusung dibalut kaos ketat yang melekat di tubuhnya.
Aku menganggukkan kepala, dan ia langsung memberi kode agar mengikutinya ke pelataran parkir kendaraan, tempat dimana mobil Jaguar terbaru milik Mr. Phong di parkir.
Setelah menaikkan tas jinjing yang berisi beberapa stel pakaianku ke bagasi mobil itu, akupun dibawa meluncur melewati jalan tol. Cewek yang menjemputku itu memperkenalkan dirinya dengan nama Weephawi, dan menjabat sebagai sekretaris di salah satu perusahaan milik Mr. Phong.
“Tapi aku biasa dipanggil Nanang, dan kamu cukup memanggilku dengan Nanang saja,” jawabnya sambil tersenyum. Aku membelas senyumnya, dan iapun mulai bercerita tentang pekerjaannya di kantor, tentang Mr. Phong yang sangat disegani di Bangkok dan juga di seluruh Thailand.
Ia juga menceritakan tentang bagaimana aku yang begitu berarti dan disegani oleh Mr. Phong, sehingga ia dan juga karyawan Mr. Phong lainnya jadi bertanya-tanya tentang siapa aku sebenarnya.
“Mr. Phong sepertinya sangat menyegani anda.
Bahkan ketika saya ditugaskan untuk menjemput dan menemani anda selama berada di Bangkok, Mr. Phong wanti-wanti agar saya melayani anda dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai membuat anda kecewa.
Anda pastilah orang yang sangat berarti atau begitu penting sekali bagi Mr. Phong. Soalnya, sangat jarang Mr. Phong memperlakukan tamunya begitu istimewa seperti anda,” tuturnya.
Aku hanya tersenyum saja, dan tak mungkin rasanya aku menceritakan semua kejadian yang menimpa putri Mr. Phong. Hingga Mr. Phong berikrar untuk menjadikan aku sebagai Saudara angkatnya.
Di sepanjang perjalanan, aku melihat jalanan yang macet, tak jauh beda dengan Jakarta. Menjelang sampai di rumah Mr. Phong di Petcbury Road, aku sempat melihat sebuah gedung bertingkat dengan halamannya yang cukup luas bertuliskan:
“Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok”. Beberapa menit kemudian mobil berbelok ke kiri memasuki sebuah rumah yang cukup besar dan mewah.
“Sandy, kita sudah sampai. Ayo kita turun, Mr. Phong sudah menunggu anda di ruang utama. Tas anda biarkan saja di mobil, setelah bertemu Mr. Phong kita ke hotel tempat kamu menginap selama di Bangkok,” ujar Nanang menjelaskan.
Aku berjalan mengikuti langkah Nanang menuju ruang utama seperti disebutkan padaku tadi. Begitu sampai di ruang itu, Mr. Phong langsung menyambut kedatanganku dengan gembira sambil menyodorkan tangannya menyalamiku.
“Selamat datang di Bangkok, Sandy. Aku akan sangat kecewa sekali jika kamu tidak datang ke pesta pernikahan anakku yang juga adalah ponakanmu sendiri,” ujarnya sambil memeluk diriku kuat-kuat.
Akupun tersenyum sambil menyatakan bahwa aku tak mungkin menolak undangannya, apalagi untuk menghadiri pesta pernikahan putrinya yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Mr. Phong lalu memperkenalkan aku kepada seluruh keluarga dan kerabatnya yang ada di ruangan itu, sambil tak lupa menyatakan bahwa aku adalah saudaranya yang ada di Indonesia.
Usai makan malam bersama di rumah itu, Mr. Phong lalu minta Nanang untuk mengantarkanku ke hotel Hilton yang tak begitu jauh dari rumahnya untuk beristirahat, sekaligus mengingatkan Nanang agar selalu mendampingi aku kemanapun pergi selama berada di Bangkok.
“Sandy, selama disini kamu akan dilayani oleh Nanang. Apapun yang kamu mau, sampaikan padanya, dan dia siap melayani dan mengantarkan kamu,” ujar Mr. Phong sambil tersenyum penuh arti.
“Baik pak. Besok jam berapa pesta pernikahannya?” Tanyaku.
“Nanang sudah tahu itu, dan dia akan mengatur semuanya nanti. Kamu tak usah memikirkan itu, ok..?” katanya, dan aku hanya menganggukkan kepala saja tanda mengerti.
Begitu masuk kamar setelah check in di hotel, aku lalu mengganti pakaian dengan mengenakan celana pendek dan kaos basket yang selalu aku bawa. Sementara Nanang, aku lihat sibuk menyusun dan meletakkan bermacam buah-buahan yang sengaja dibawanya untukku di hotel. Sambil tidur-tiduran di ranjang, dengan remote control ditangan, aku coba mencari siara TV yang menarik bagiku.
Usai membereskan semuanya, Nanang aku lihat pergi ke kamar mandi, dan begitu keluar ternyata ia telah mandi dan menukar pakaiannya dengan rok mini yang terbuat dari dasar jeans dan kaos ketat pendek, sehingga menampakkan pusar serta lekuk tubuhnya yang sangat seksi.
Aku melihat tak satupun cacat pada tubuhnya yang mulus. Kakinya yang panjang bak kaki belalang dengan betis ibarat padi, perutnya yang datar dengan dada menonjol serta paras wajahnya yang begitu cantik, membuat pikiranku menjadi menerawang membayangkan bagaimana jika Nanang bisa aku tiduri dan menikmati tubuhnya yang sensual itu.
“Sandy, kamu mau nonton Tiger Show malam ini..?”
Tiba-tiba Nanang mengagetkan aku dari lamunan jorok.
“Terserah kamu, aku belum pernah ke Bangkok ini, dan tak tahu harus kemana,” jawabku singkat.
“Ok, sekarang kamu mandi dulu dan berganti pakaian, sebentar lagi kita pergi menyaksikan pertunjukan Tiger Show di salah satu tempat hiburan milik Mr. Phong,” Katanya.
Setelah mandi dan menukar pakaianku dengan celana jeans dan kemeja kotak-kotak biru kesukaanku, akhirnya mobil Jaguar yang membawa aku dan Nanang meluncur ke sebuah tempat hiburan di kota Bangkok.
Terpana Tubuh Mulusnya
Sesampai disana, ternyata sudah disiapkan tempat VIP untuk kami berdua sekaligus beberapa jenis minuman dengan merek terkenal sudah ada di meja kami. Sementara tamu-tamu lain aku lihat sudah mulai menempati tempat duduk masing-masing.
Tak lama kemudian, pembawa acara malam itu menyatakan bahwa pertunjukan segera akan dimulai. Pada awalnya aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa di altar tempat pertunjukan itu tidak dipasang kerangkeng, karena bisa membahayakan pengunjung nantinya bila harimau yang sedang beratraksi melawan dan melompat ke arah penonton yang jaraknya begitu dekat dengan altar.
“Kamu tenang saja, tak akan ada masalah kok,” ujar Nanang tersenyum penuh arti dan memperbaiki posisi duduknya. Ia sepertinya tahu dengan apa yang sedang aku pikirkan.
Tiba-tiba, di altar tempat pertunjukan muncul seorang wanita berparas cantik dengan memakai pakaian tipis tembus pandang. Di balik pakaian yang dikenakannya, aku pastikan cewek tersebut tidak memakai apa-apa, sehingga terbayang jelas payudaranya yang montok, padat, berisi dan juga terlihat bulu-bulu halus di sela-sela selangkangannya. Perlahan-lahan, tubuhnya mulai meliuk-liuk dengan gerakannya yang sangat erotis.
Aku terpana dan nafsu seksku mulai terangsang menyaksikan gerakannya yang erotic dan menggairahkan itu. Nafasku mulai menyesak dan tiap sebentar aku memperbaiki duduk karena “si kecil” di selangkanganku mulai membengkak dan terjepit oleh jenasku yang sedikit ketat.
Dengan sudut mata kiriku, aku melihat Nanang memperhatikan kegelisahanku. Dan makin lama, kurasakan tubuh Nanang semakin merapat dan paha kami hampir saling berhimpitan.
Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki muda dengan tubuh atletis tanpa busana sehelaipun dari balik layar panggung. Dengan langkah pasti ia mendekati si cewek yang sedang memainkan gerakan erotis di atas altar yang berada di depan kami. Tiba-tiba, kulihat si laki-laki menarik pakaian si cewek, hingga si cewek sama-sama bugil dengan si cowok.
Aku kembali menahan nafas menyaksikan pertunjukan yang belum pernah aku saksikan di Indonesia selama ini. Aku melirik Nanang yang berada di samping kiriku, dan kebetulan ia juga sedang menolehkan pandangannya ke arahku. Aku tersenyum, dan senyumanku dibalasnya dengan merebahkan tubuhnya ke dadaku, yang kusambut dengan merengkuh pundaknya agar ia merasa nyaman berada dalam pelukanku.
Sementara di altar yang hanya berjarak sekitar 2 meter di depan kami, kulihat si cowok mulai merebahkan si cewek dengan posisi telentang, sembari mencium si cewek dengan penuh nafsu. Sang cewek membalas dengan ciuman yang ganas, dan sekali-sekali tangan kanannya menggapai tongkol Si cowok yang berukuran lumayan besar dan sudah sangat tegang sekali, sambil mengocok-ngocoknya.
“Ah.. ” terdengar erangan si cewek.
Sedang asyik menyaksikan pertunjukan live show tersebut, aku merasakan tangan kiri Nanang mulai menjalar dan menyusup diantara kancing kemeja yang kupakai. Karena sedikit susah untuk memasukkan tangannya ke dadaku, ia membuka satu kancing baju kemejaku bagian atas, dan tangannya
Tiba-tiba telah mengusap-usap dadaku yang sedikit ditumbuhi bulu-bulu itu. Aku merasakan nikmat yang tiada tara, sehingga membuat rangsangan pada diriku semakin tak tertahankan lagi. Tangan kananku pun tak mau diam, dan mulai menggerayangi pahanya yang mulus dan hanya mengenakan rok pendek itu.
“Oh..,” aku tak bisa lagi menahan rangsangan yang telah menyelimuti otakku. Tangan kananku lalu merambat naik dan meremas payudaranya yang montok itu. Setelah itu, aku palingkan wajahnya menghadap tepat di wajahku, sehingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang begitu harum dan semakin menambah gairah sensualku untuk menciumnya.
Perlahan, sambil mengusap pahanya yang mulus itu, aku cium lembut bibirnya yang sensual itu, dan memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Ternyata ciumanku dibalas dengan hangat oleh Nanang, sehingga kosentrasiku terpecah antara menyaksikan live show dua orang berlainan jenis yang sedang bersanggama dengan mencium Nanang yang juga seperti sudah kerasukan nafsu birahi.
“Sandy, kita lanjutkan saja di hotel yuk,” ajak Nanang.
“Sebentar lagi saja, kita saksikan dulu pertunjukan ini, mana tahu ada diantara bagian-bagian dalam pertunjukan ini bisa kita tiru pula nanti,” jawabku sambil melonggarkan pelukanku.
“Ok deh, kita tengok dulu acara ini. Tapi kalau kamu sudah ingin kembali ke hotel, jangan sungkan-sungkan untuk memberitahu aku ya,” ujarnya, dan aku menyatakan persetujuanku.
Sementara di Altar, aku melihat kedua insan berlainan jenis itu sudah melakukan sanggama dengan gerakan-gerakan yang sangat indah dan merangsang. Sang cowok sedang asyik menyetubuhi si cewek dengan posisi konvensional, dimana laki-laki berada di atas dan wanita berada di bawah. Ada sekitar 10 menit mereka mempraktekkan posisi tersebut, kemudian si cowok tampak menarik si cewek dan membuat posisi doggy style.
Si cowok terlihat mulai memasukkan tongkolnya dengan tenang, sementara si cewek terlihat merintih kesenangan dengan mengeluarkan desahan yang membuat penonton yang berjumlah sekitar 80 orang itu ikut-ikutan terangsang.
Dengan penuh kosentrasi, si cowok mulai menggenjot memiaw si cewek dengan tongkolnya yang keluar masuk dengan mengeluarkan suara kresek-kresek disebabkan memiaw si cewek yang mulai basah.
Berapa adegan diperagakan kedua insan berlain jenis itu, baik posisi berdiri, bersandar ke dinding maupun dengan posisi “gunting”, dan mengakhiri permainan tersebut dengan si cowok memuntahkan spermanya di muka si cewek, yang disambut dengan jilatan lidah si cewek membersihkan sperma si cowok dibatang tongkolnya, dan kemudian menghisapnya hingga tongkol si cowok mengendur.
“Kita kembali ke hotel, Sandy. Aku sudah tak tahan nih,” ujar Nanang sambil mengajakku kembali ke hotel. Akupun berdiri tanda setuju. Sambil merengkuh pundaknya, aku meninggalkan tempat hiburan esek-esek tersebut, dan Nanang juga ikut memelukku dengan manja.
Begitu sampai di hotel dan menutup pintu kamar, dengan tak sabaran aku langsung merebahkan Nanang di tempat tidur yang empuk dan lebar. Segera kutindih tubuh mulus dan sangat sintal itu, sambil menciumi bibirnya yang merekah dan sedikit basah.
“Ah, Sandy..,” desahnya.
Aku terus menciumi bibirnya dan berpindah ke pangkal telinganya sambil berusaha membuka kaos ketat yang masih membungkus tubuhnya. Ia mengangkat sedikit punggung dan kepalanya untuk memudahkan diriku mencopot pakaiannya, kemudian melepas pengait BH-nya dari belakang dengan satu tangan kananku, dan mencampakkan BH-nya begitu saja di pinggir ranjang.
Aku terus menciumi pangkal telinganya dan terus berpindah ke lehernya yang jenjang itu. Kemudian ciuman aku alihkan ke puting payudaranya yang berwarna coklat kemerah-merahan yang sudah terasa keras dan menjulang.
Sambil terus menggumuli tubuhnya yang molek itu, tanganku mulai beralih dengan menarik resluiting rok mini yang dipakainya. Sekali tarik, rok yang dipakainya terlepas dari pinggulnya yang bahenol itu, sehingga terlihatlah CD warna putih menutupi bongkahan kecil yang sudah mulai basah di sela selangkangannya.
Nanang aku lihat juga tidak tinggal diam. Karena aku dilihatnya masih mengenakan pakaian lengkap, iapun langsung membuka satu-persatu kancing bajuku dan melepasnya, yang dilanjutkan dengan membuka kaos singlet yang kupakai.
Setelah itu itu, seperti tak sabaran ia lalu menurunkan resluiting celana jeans ku. Karena jeans itu agak sempit, akhirnya aku bantu untuk melepaskannya, sehingga tinggalah kami berdua hanya memakai CD saja.
Aku terus saja menindih tubuhnya dan menghisap puting susunya yang semakin mengeras itu. Sementara Nanang, dengan menggapai-gapaikan tangannya menarik kepalaku ke atas, dan langsung menyergap bibirku dengan bibirnya yang ranum itu.
Lidah kami saling bermain di rongga mulutnya, sementara tanganku sibuk meremas-remas payudaranya, dan sekali-sekali tanganku turun ke bawah mempermainkan sekitar lubang memiawnya dari balik CD yang masih melekat di tubuhnya.
“Ah, Sandy. Enak..,” erangnya tertahan.
Aku tetap menghisap lidahnya dengan rakus, dan kemudian jilatanku pindah ke belakang daun telinganya yang aku tahu sangat sensitif untuk membangkitkan gairah seksnya. Ia menggelinjang menahan nikmat, sehingga aku mengetahui bahwa ia sudah tak sabaran lagi.
Dengan sekali tarik, Nanang berhasil melepas CD-ku dan langsung meraba tongkolku yang mengacung serta sudah mengeras dari tadi. Dengan lahapnya, ia mengulum dan menghisap tongkolku, sehingga membuat aku merasa geli dan semakin terangsang.
Aku sepertinya tak mau menang sendiri. Aku lalu merebahkan diri dan menarik Nanang menindih tubuhku dengan posisi “69″. Sementara Nanang asyik mempermainkan tongkolku dengan lidahnya, akupun asyik menghisap dan menjilati clitoris yang sudah menyembul dari lubang memiawnya.
Setelah sekitar 10 menit kami mempermainkan alat kelamin lawan, akhirnya aku merasakan tubuh Nanang mengejang tanda ia akan mencapai orgasmenya yang pertama. Aku jadi semakin ganas menghisap dan menjilati lubang memiaw Nanang, sehingga akhirnya aku merasakan pinggul Nanang terangkat dan tiba-tiba mulutku dibasahi lendir yang membanjir keluar dari memiaw Nanang. Sejenak aku memberikan kesempatan untuk Nanang guna menikmati orgasmenya itu.
“Ogh, aku ke.. luar Sandy..,” erangnya sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan.
Setelah kulihat Nanang sedikit tenang, Aku lalu menarik tubuhnya dan minta ia menungging membelakangiku, untuk bersanggama dengan gaya doggy style. Gaya sepasang insan dalam live show tadi kembali membayang dibenakku, dan akupun mencoba gaya tersebut dengan Nanang.
Ternyata gaya tersebut cukup ampuh untuk membuat Nanang menjerit histeris menahan nikmat yang tiada tara. Dapat kurasakan bagaimana pinggul Nanang ikut bergoyang sehingga tongkolku seperti dipijat-pijat dan dijepit sesuatu.
Dengan tetap menggenjot memiaw Nanang yang terasa legit, tanganku menggapai payudara Nanang yang menggantung dengan bebas dan meremas-remasnya. Nanang mengeluarkan rintihan sebagai tanda ia sangat menikmati permainanku itu.
Setelah beberapa menit ketika aku lagi asyik-asyiknya menggenjot memiaw Nanang dari belakang, aku rasakan Nanang sudah tidak tahan untuk menyemburkan lahar panas dari memiawnya.
“Oh, Sandy. Kamu benar-benar hebat, aku su.. dah mau ke.. luar..,” Nanang mendesah tertahan.
Dan tiba-tiba aku merasakan batang tongkolku terasa panas oleh cairan yang keluar cukup banyak dari memiaw Nanang.
Kembali aku memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati orgasmenya yang kedua, sementara aku masih mampu menahan diri untuk tidak jebol. Perlahan-lahan, setelah aku melihat Nanang mulai tenang dan siap melanjutkan perterungan ronde berikutnya, aku minta agar Nanang menelentang.
Tak sabar aku menyaksikan Nanang yang telah telentang, aku lalu merangkak dan menindih tubuh Nanang yang ramping dengan perut datar itu, dan mulai menciumi bagian-bagian sensitif dari tubuh mulus itu. Seketika Nanang kembali terangsang, dan mulai mencari-cari tongkolku serta meletakkannya tepat di lubang memiawnya.
“Sandy, ayo masukkan. Aku sudah tak tahan lagi,” ujar Nanang.
Aku tidak menghiraukan permintaan Nanang itu, dan terus saja menciumi bagian-bagian sensitif yang ada pada tubuhnya. Ciuman demi ciuman terus aku lakukan dari bibir, terus berpindah ke belakang daun telinganya dan leher jenjangnya. Di lehernya yang jenjang itu, aku gigit sehingga membuat ia kembali mengeluarkan jeritan tertahan.
“Oh, Sandy. Please, aku sudah tak tahan lagi,” pintanya dengan mata sayu karena menahan nikmat.
Akupun tak sampai hati membiarkannya menderita menahan nikmat. Aku langsung menekan pinggul dan karena lubang memiawnya sudah licin, sebentar saja seluruh batang tongkolku sudah amblas masuk ke memiaw Nanang.
Bless..! Aku mulai menggoyang memiaw Nanang dengan tongkolku, menirukan gaya yang aku tonton dalam pertunjukan live show tadi. Makin lama kocokanku semakin cepat, dan Nanang mulai menceracau tak karuan dalam bahasa Thailand yang sama sekali aku tidak mengerti.
Setelah sekitar 25 menit berlalu, erangan yang keluar dari mulut Nanang semakin tak menentu. Aku terus menggenjot lubang memiaw Nanang dengan memaju mundurkan tongkolku yang tertanam di dalamnya, sementara bibirku tetap menjelajah setiap bagian-bagian yang sensitif di tubuhnya. Mulai dari belakang telinga, leher dan puting payudaranya yang mengeras itu, aku isap dengan penuh nafsu.
“Please Sandy, aku sudah tak tahan lagi. Aku mau keluar.. lagi.. ogh..,” jeritnya tertahan.
“Tahan sebentar sayang, aku juga sudah mau keluar. Kita keluarkan sama-sama,” jawabku.
“Ogh.., enak..!” serunya
Dan tiba-tiba saja, aku merasakan Nanang sudah tidak bisa lagi bertahan. Kedua kakinya yang panjang itu kurasakan mulai menjepit pinggulku, dan tanpa dapat ditahannya lagi, aku merasakan Nanang telah mendapatkan orgasmenya yang ketiga, dan aku juga merasakan cukup banyak cairan keluar di memiawnya yang terasa panas oleh tongkolku.
Akupun mempercepat genjotanku, sehingga tanpa dapat ditahan lagi, dalam hitungan detik aku muntahkan seluruh sperma yang sudah menyumpal dan mendesak untuk keluar dari pangkal tongkolku.
“Croot.. Croot.. Croot..!” beberapa kali tembakan spremaku menghantam dinding memiaw Nanang hingga ke dasar.
“Oh, Sandy. Kamu benar-benar hebat. Selama ini belum pernah aku mengalami multi orgasme seperti yang aku rasakan denganmu,” desah Nanang sambil memelukku dan mencium hangat bibirku.
“Kamu juga betul-betul hebat Nanang, aku sangat terpuaskan sekali. Mr. Phong begitu pintarnya mencarikan lawan tanding untukku,” ujarku sambil mencuil hidungnya yang bangir itu.
Kamipun lalu sama-sama pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun karena elusan tangan Nanang pada tongkolku ketika kami sama-sama saling membantu menggosokkan badan, akhirnya tongkolku kembali berdiri dan minta bersemayam di memiaw Nanang.
“Wow, adik kecilmu kembali berdiri. Apakah orang Indonesia semuanya kuat-kuat sepertimu, Sandy?” tanya Nanang sambil tetap mengelus-elus batang tongkolku. Aku hanya menjawab dengan senyuman.
Karena sudah sama-sama terangsang, akhirnya permainan dahsyat itu kembali kami ulangi di bawah siraman shower yang telah kami atur siraman airnya. Aku kangkangkan kedua pahanya, sementara perlahan-lahan aku coba memasukkan tongkolku yang sudah mulai mengeras kembali.
Sekali tekan, Bless..! Seluruh batang tongkolku amblas masuk ke dalam memiawnya yang legit itu. Aku terus memaju mundurkan tongkolku di dalam memiawnya, sementara Nanang juga tak kalah gesitnya membalas goyangan pinggulnya.
Karena aku merasa lelah dan tak tahan lagi mengocok memiawnya dengan tongkolku dalam keadaan berdiri, lalu aku menggendongnya dalam posisi tongkolku masih tertancap di memiawnya menuju kursi yang ada di ruang tamu.
Dengan posisi aku duduk dan dia dalam pangkuanku, Nanang mulai menggoyangkan pinggulnya, sehingga kembali tongkolku serasa dipilin-pilin. Sementara ia menggoyang-goyang pinggulnya, tanganku sibuk meremas-remas payudaranya yang bebas tergantung. Dan permainan tersebut kami jalani sekitar 20 menit lamnay, sehingga kami kembali sama-sama memuntahkan lahar panas dari alat kelamin kami masing-masing.
Dan hingga pagi, permainan seks yang cukup dahsyat kembali terulang. Sepertinya Nanang tak pernah puas, hingga pada saat kami terbangun siang harinya dan hendak launch di hotel, ia kembali coba merangsangku untuk melakukan kembali hubungan intim yang sangat nikmat itu, dan kemudian setelah makan siang, kami sama-sama tertidur lagi hingga sore menjelang menghadiri pesta pernikahan putri Mr. Phong di rumahnya.
“Bagaimana Sandy, senang berada di Bangkok?” tanya Mr. Phong begitu kami sampai di rumahnya pada malam harinya.
“Wah, senang sekali pak. Bangkok betul-betul syurga dunia bagi orang luar,” jawabku.
“Berarti tidak sia-sia aku minta Nanang untuk menemanimu selama disini. Dia memang pintar dan selalu mengetahui apa yang kita inginkan,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti padaku dan melirik Nanang yang berada di sisi kiriku. Kulihat Nanang hanya tersipu-sipu malu.
Selama lima hari aku berada di Bangkok, sepertinya tiada hari bagi kami berdua untuk tidak melakukan hubungan seks. Sepertinya aku dan Nanang begitu menikmatinya, sehingga rasanya sangat berat bagiku untuk kembali ke Indonesia. Namun karena izinku dari kantor hanya seminggu saja, akhirnya dengan berat hati aku terpaksa harus kembali ke Indonesia.
EmoticonEmoticon